Dan seiring berjalannya hari, misteri Hendrik Wijaya masih terus menghantui, memikat dan serumit aroma racikan kopi terbaik.
Aditya bersandar di konter, pandangannya beralih ke seberang ruangan ke tempat Hendrik duduk di sudut biasanya. Mata pria itu terpejam, senyum setengah tersungging di bibirnya seolah-olah dia mengetahui rahasia lelucon rahasia yang hanya dibagikan kepada dirinya sendiri. Aditya mau tidak mau bertanya-tanya pikiran apa yang menari-nari di balik kelopak mata yang tenang itu.
“Secangkir lagi?” Suara barista memecah lamunannya, namun Aditya nyaris tidak bisa mendengar kata-katanya. Pikirannya tertuju pada sosok misterius di seberang ruangan.
“Ah iya, silahkan,” jawab Aditya tanpa sadar, perhatiannya kembali tertuju pada Hendrik. Ada gravitasi di dalam dirinya yang seolah membengkokkan udara, menarik rasa ingin tahu Aditya ke orbitnya.
Sambil menimang kopi yang baru diseduh, Aditya menelusuri kerumunan pelanggan yang berceloteh, setiap langkah membawanya semakin dekat untuk mengungkap misteri Hendrik Wijaya. Ia terdiam sejenak, mengamati dada Hendrik yang naik turun dengan ritme yang seolah selaras sempurna dengan alunan musik jazz yang bersenandung lembut melalui speaker kafe.
"Permisi," Aditya memulai, berdehem sedikit saat dia mendekat. "Mau tak mau aku memperhatikan bagaimana... kamu selalu tampak damai dengan kopimu."
Kelopak mata Hendrik terbuka, memperlihatkan mata yang menyimpan kedalaman yang menurut Aditya bisa membuatnya jatuh ke dalamnya. “Ah, anak muda,” katanya, suaranya berpadu hangat serasi dengan aroma dark roast yang menyelimuti mereka. “Kopi lebih dari sekedar minuman; kopi adalah pendamping jiwa.”
"Bolehkah aku bertanya," Aditya memberanikan diri, kata-kata yang keluar dengan semangatnya yang semakin besar, "apa campuran favoritmu? Atau mungkin metode pembuatan bir yang membuatmu begitu puas?"
Senyum tersungging di wajah Hendrik yang lapuk, seolah pertanyaan itu sendiri memberinya kegembiraan yang tenang. "Duduk, duduk," dia menunjuk ke kursi kosong di depannya. "Jawabannya tidak sederhana. Itu berubah seiring hari, sesuai suasana hati. Namun jika Anda benar-benar ingin memahaminya, pertama-tama Anda harus belajar mendengarkan—pada kopi, pada kehidupan."
Aditya mengambil tempat duduk, jantungnya berdebar kencang seperti detak jam tua di dinding. Dia berada di puncak sesuatu yang lebih dari sekedar percakapan biasa, tertatih-tatih di tepi kebijaksanaan yang telah lama dia cari di saat-saat tenangnya dengan secangkir kopi di tangan.
“Hidup,” Hendrik memulai, suaranya terdengar melalui dengungan mesin kopi dan gumaman lembut para pengunjung, “ibarat proses menyeduh cangkir yang sempurna. Ada seni dalam kesabaran, Aditya.”