BAB 1: Pendahuluan
Pandangan Raden Aditya Wirawan terpaku pada uap tipis yang naik dari cangkir keramik yang dipegangnya. Kedai kopi bergetar dengan energi yang terpendam, sebuah simfoni dari sentuhan cangkir yang bersentuhan dan percakapan berbisik, namun bagi Aditya, semuanya memudar menjadi dengungan lembut di tengah latar belakang minuman pilihan yang dihargainya.
"Kamu selalu terlihat sangat serius saat meminum kopimu," Lilis Sulastri mengamati dari seberang meja, senyum hangatnya mencapai matanya. "Seolah-olah kamu sedang menemukan jawaban hidup di dalamnya."
Aditya tertawa lembut, menghargai ejekan lembutnya. Dia mengangkat cangkir, membiarkan aroma kaya biji kopi melibatkannya; tanah, kuat, dengan sentuhan cokelat hitam. "Mungkin aku hanya mencari ketenangan," jawabnya, sebelum mengambil tegukan hati-hati, merasakan kehangatan merambat melalui tubuhnya.
"Terkadang, nak," Hendrik Wijaya menyela, muncul di samping Aditya seperti bayangan, "kopi lebih tentang perjalanan daripada tujuan." Ucapannya yang samar bergelayut di udara, bercampur dengan aroma biji kopi yang dipanggang.
"Perjalanan, ya?" gumam Aditya, tertarik meski tidak sadar. Dia menyaksikan Hendrik mundur ke sudut, di mana pria misterius itu duduk sendiri, terpaku dalam dunianya sendiri.
Aditya mengambil tegukan lagi, kali ini lebih lambat, membiarkan pahit melintasi lidahnya dan melunak menjadi manis. Itu seperti pantulan ujian dan hadiah kehidupan. Seberapa sering dia mengabaikan kenikmatan sederhana?
Kakaknya, Dinda Pramesti, pasti akan mencemoohnya atas renungannya semacam itu. "Kamu perlu berpikir lebih besar, Adit. Kamu tidak bisa membiarkan hidup berlalu begitu saja saat kamu sibuk merenungkan secangkir kopi," begitu katanya. Dia hampir bisa mendengar suaranya, mendorongnya ke jalan yang berbeda, yang dihiasi dengan ambisi dan kesuksesan.
Tapi saat dia duduk di sana, merasakan beratnya cangkir itu di telapak tangannya, Aditya menyadari bahwa momen refleksi ini bukan hanya kegiatan sia-sia. Mereka adalah jeda yang diperlukan, jangkar kecil di tengah laut kekacauan.
"Kopi ini benar-benar istimewa, Lilis," ucap Aditya dengan tulus. "Seperti... setiap cangkir memiliki ceritanya sendiri."