Tatanan masyarakat yang simbolistik, tentu mengunggah pemikiran untuk memacu "adrenalin" untuk membahasnya dan mencoba menalar secara logis dan terukur. Simbolisme pun agaknya dimaknai sebagai personifikasi atau rekonstruksi wajah Tuhan sebagai "Ada sekaligus Tak Ada" atau "Sang Pengada dari segala ada" (secara eksistensi badaniah).Â
Tuhan tidak lagi dipahami sebagai dewa -- dewa imajiner dan peng-ada-an tuhan -- tuhan  karya Homeros dan Hesiodos (The Illiad), namun manusia kontemporer dituntut untuk mencoba menalarkan akan hadirnya Tuhan sebagai daya ilahiah pribadi.Â
Namun, agaknya dengan kemajuan pemikiran didominasi rasio dan akal budi, mencoba memasukkan "Tuhan" dalam simbolisme dangkal. Barangkali, menyempitkan Sang Maha-Luas menjadi sekadar imanensi simbolistik. Â
Tak dapat dipungkiri, agama memerlukan simbol guna membantu atau menjembatani aku dengan Dia (Tuhan) dalam sembah-Hyang. Manusia merupakan makhluk yang terbatas, dalam arti manusia tak cukup menggambarkan "wajah" Tuhan secara gamblang dan konkret.Â
Manusia memerlukan sebuah simbol religiusitas, di mana Tuhan dianggap ada dan hadir dalam ritual konservatistik komunitas religius. Sebagai contoh, dalam tradisi Katolik Roma dikenal dengan perayaan ekaristi setiap Hari Minggu di Gereja maupun dimanapun yang memadai.Â
Di dalam Gereja, tidak jarang kita melihat berbagai wajah baik Santo maupun Santa berporos kepada patung - patung Yesus yang bertebaran sangat dominan. Tuhan ada dan hadir dalam gereja sebagai simbol dan wajah Tuhan.
Pancaran kasih-Nya agaknya cukup dirasakan apabila cinta-kasihNya melingkupi segenap jasmaniah serta rohaniah manusia. Tentu, simbolisme dalam konteks ini diperlukan dalam arti manusia merasa Tuhan hadir secara fisikal dimanapun kita berada, mendampingi serta menemani setiap langkah hidup kita.Â
Tak lain dan tak bukan, peran simbol menjadi menyeluruhkan kehidupan religiusitas manusia, karena kembali lagi bahwa manusia tidak lagi menyembah maupun merasa kehadiran Tuhan melingkupinya terbalut dalam kekosongan belaka, dengan pemahaman tak mengetahui secara mendalam siapa yang ku sembah dan mengapa disembah dan bersyukur atas-Nya.
Tentu, sebagian atau barangkali beberapa manusia religius khususnya anak muda merasa ritual konservatistik tak lagi relevan dan tradisi yang ketinggalan zaman (tergilas oleh peradaban; dominansi rasio). Tetapi, tak disadari bahwa agama -- agama khususnya monoteistik (agama wahyuwi khususnya) tetap ada dan berdiri hingga masa kini karena tradisi konservatifnya. Ciri khas dan warnanya membedakan dari keprogresifan dan kemasifan peradaban.
Bila melihat dari sisi agama sebagai tatanan yang ketat berdasar pada junjungan aturan agama, maka dapat dilihat dari sisi pemaknaan serta sempitnya interpretasi keluasan makna Tuhan. Tuhan dapat dikatakan "Sang Maha-Asyik".Â
Tak lagi berdasarkan keketatan maupun dogmatisme yang merebak, namun manusia secara bebas ataupun menaruh "warna" pemikiran berbeda -- beda untuk semakin merenggangkan kemaha-luasan Tuhan, sehingga tak hanya terjebak pada dogmatisme imanensial simbolistik.