Kepolosan seorang selebgram membuat pernyataan terbuka atas 'kesuksesan' menghamili kekasihnya di luar nikah membuat gemuruh dunia maya dan nyata, terutama kelompok ibu bangsa.
Bagaimana tidak, mereka dan juga (mungkin) kita sepakat hal itu adalah tanda jelas sudah terjadi pergesaran rasa malu dari perspektif orang timur.
Bisa jadi, secepatnya, telinga kita pun akan menganggap berita serupa adalah kabar yang renyah lalu membiarkan dan mewajarkannya: dislokasi moral, bukan begitu?!
Saya menganggap apa yang dilakukan selebgram tersebut adalah tindakan yang polos, melihat dari mimik muka dan cara penyampaian tanpa embel-embel beban bahkan justru berkhotbah bak motivator agar para follower-nya yang kebetulan atau ke depan bakal senasib seperiangan "meng-idem-kan" polah si seleb.
Alasan lainnya, bisa jadi itu bukan merupakan produk instan hanya karena efek dari hingar-bingar teknologi informasi yang melesat eksponensial tanpa dibarengi rantai moral.
Ada rangkaian proses panjang di baliknya yang sulit dibuktikan dan hanya bisa menduga menyoal pendidikan adab, keluarga, kultur lingkungan hingga sentuhan agama.
Atau mungkin kita ini hanya sedang 'dibodohi' oleh sandiwara anak muda yang belakangan ini jadi marak menerkam netizen yang budiman, mulai usia dini sampai tak bergigi demi sesuap like, comment, share and subscribe yang sebetulnya tak pernah ada kejadian menghamili dan dihamili, mereka menikah dengan niat tulus penuh suka dan cinta untuk membina rumah tangga sakinah mawaddah. Buktinya, masih ingat kejadian (drama) pengeroyokan sampai luka lebam?
Jika hipotesa kedua yang diamini, maka ini akan banyak menyangkut soal gangguang kejiwaan.
Pasca-lahirnya media sosial, timbul pelbagai penyakit kejiwaan yang kemudian dideskripsikan oleh para psikolog kedalam beberapa istilah.
Yang paling umum, 'gila' karena media sosial antara lain FoMo Syndrome alias Fear of Missing Out.
Tandanya, cemas berlebihan akibat tak bisa menahan jempol untuk terhubung medsos. Sepertinya kita semua masuk kategori ini?!
Lalu, Voyeur, yakni berlebihan menjadi stalker orang di media sosial. Menguntiti mantan, gebetan, atau pasangan sendiri sekalipun.
Dan yang ketiga, fenomena mengarang cerita dengan dalih fakir perhatian di media sosial agar orang iba, biar orang terenyuh, menjadi gelombang dukungan maya, lalu di-like, di-share dan viral.
Padahal, seperti induknya, dunia maya yang penuh ke-maya-an, empati warganet tidak betul-betul sebuah kebenaran. Kita terjerembab pada visualisasi emoticon. Emangnya yakin kalau pasanganmu chat emoticon love betul-betul love? Heehe..
Nah bagaimana jika ternyata hipotesa pertama yang benar?
Ini sebetulnya menjadi beban moral bagi para bapak-bapak. Andai saja ibu-ibu bangsa tahu, konferensi pers selebgram tersebut tidak hanya menjadi pukulan telak bagi insan berjenis ibu-ibu, bagi kami para bapak-bapak ini yang sering tidak dimengerti beban hidupnya, itu bagaikan ditodong pertanyaan istri: "aku gemukan ya mas?" Skak mat, broh!
Lalu, harus bagaimana mendidik anak-anak zaman di mana sayang itu harus dibuktikan dengan emoticon, kalau perbuatan amoral jadi hal yang biasa saja bagi kebanyakan masyarakat Indonesia saat ini?
Please, dady come back home!
Sudah sesak dunia ini dengan penyimpangan kelakuan. Anomali perilaku seks, amoralitas, pacaran sejak dini, perilaku barbar adalah sederet capaian minus akibat ketidakmatangan jati diri yang gagal terbentuk dengan sempurna, sejak dari keluarga. Dan bapak-bapak, penanggung jawab utama.Â
Bapak-bapak sibuk dengan urusannya di tempat kerja, meeting sana sini, jaldis dari itmur ke barat, fokus menumpuk harta tapi lupa tanya apa kabar keluarga.
Bapak-bapak lupa menaruh peka kondisi keluarga, anak-anak, dan kesehatan jiwa si cinta.
Kita, para bapak-bapak mana tahu dari seharian pagi sampai sore rumah seperti senayan pasca-rusuh DPR. Tahunya rumah resik dan tentram. Kenyataanya? Tanya istri!
Bapak adalah pembentuk ego dan ibu si pengusap air mata. Didikan ini yang sebetulnya diterapkan orangtua kita. Tapi kenapa kita lupa? Apakah hanya karena salah memegang prinsip: "biar bapakmu saja yang merasakan pahitnya hidup, kamu jangan"?
Prinsip ini justru membunuh karakter tangguh anak-anak kita.
Yang terjadi sekarang, bapak-bapak menihilkan perannya sebagai bapak. Sehingga si ibu terpaksa melakukan pengambilalihan tanggungjawab si bapak tanpa melalui musyawarah ataupun pemilu keluarga antara bapak dan ibu di suatu malam yang syahdu. Apa artinya? Ibu mengganda: sebagai ayah yang sukanya teriak marah-marah penuh ketegasan dan juga mendekap mengobati luka.
Enggak ada pilihan, please daddy come back home! Jangan ngimpi anak jadi bener, kalau bapak-bapak masih suka keblinger.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H