Lalu, Voyeur, yakni berlebihan menjadi stalker orang di media sosial. Menguntiti mantan, gebetan, atau pasangan sendiri sekalipun.
Dan yang ketiga, fenomena mengarang cerita dengan dalih fakir perhatian di media sosial agar orang iba, biar orang terenyuh, menjadi gelombang dukungan maya, lalu di-like, di-share dan viral.
Padahal, seperti induknya, dunia maya yang penuh ke-maya-an, empati warganet tidak betul-betul sebuah kebenaran. Kita terjerembab pada visualisasi emoticon. Emangnya yakin kalau pasanganmu chat emoticon love betul-betul love? Heehe..
Nah bagaimana jika ternyata hipotesa pertama yang benar?
Ini sebetulnya menjadi beban moral bagi para bapak-bapak. Andai saja ibu-ibu bangsa tahu, konferensi pers selebgram tersebut tidak hanya menjadi pukulan telak bagi insan berjenis ibu-ibu, bagi kami para bapak-bapak ini yang sering tidak dimengerti beban hidupnya, itu bagaikan ditodong pertanyaan istri: "aku gemukan ya mas?" Skak mat, broh!
Lalu, harus bagaimana mendidik anak-anak zaman di mana sayang itu harus dibuktikan dengan emoticon, kalau perbuatan amoral jadi hal yang biasa saja bagi kebanyakan masyarakat Indonesia saat ini?
Please, dady come back home!
Sudah sesak dunia ini dengan penyimpangan kelakuan. Anomali perilaku seks, amoralitas, pacaran sejak dini, perilaku barbar adalah sederet capaian minus akibat ketidakmatangan jati diri yang gagal terbentuk dengan sempurna, sejak dari keluarga. Dan bapak-bapak, penanggung jawab utama.Â
Bapak-bapak sibuk dengan urusannya di tempat kerja, meeting sana sini, jaldis dari itmur ke barat, fokus menumpuk harta tapi lupa tanya apa kabar keluarga.
Bapak-bapak lupa menaruh peka kondisi keluarga, anak-anak, dan kesehatan jiwa si cinta.
Kita, para bapak-bapak mana tahu dari seharian pagi sampai sore rumah seperti senayan pasca-rusuh DPR. Tahunya rumah resik dan tentram. Kenyataanya? Tanya istri!