Mohon tunggu...
Eric Keroncong
Eric Keroncong Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

aku yah.. orangnya pendiam...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Asoy...Wisuda

26 Januari 2012   15:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:25 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ma, Pak, minggu depan aku wisuda, loh!” Ucap Dedi dengan suara lembut di ujung jalan.

“Apa? Wisuda?” suara melengking Mamanya Dedi membuat kuping kanan Dedi sakit.

Duuuhhh!! Parah banget Mama, nih. Bukannya senang ngeliat Dedi Pramana Putra, anak kebanggaan Bapak Mulyana Derajat, SH dan Ibu Sri Haryanti, Spd minggu depan bakalan mengenakan toga kebangaan yang di impikan selama ini. Eh, pakai syok segala ngedenger aku bakalan wisuda minggu depan! Guman Dedi dalam hati kecilnya.

“Allooowww...Ded...Deeeddiii..kamu baik-baik kan?” nampak begitu jelas suara Mamanya Dedi begitu panik, sambil menatap ke wajah suaminya yang berebut ingin ngobrol sama Dedi.

“Ma...Mama...siniiii, bapak mau ngomong sama Dedi!!”

“Ahh...nggak mauuuu, lagian saat Dedi nelpon, kenapa bapak nggak angkat tuh telponnya? Pura-pura nggak dengar eh...asyik-asyik ngebaca koran!” gerutu Mamanya Dedi, menjulurkan lidahnya. Weekk!!

“Siniiiii...pelit banget, sih? Dedi tuh anak bapak juga, Ma.”

“Siapa bilang?”

“Bapak.”

“Yang mengandung Dedi selama sembilan bulan siapa?”

“Mama..”

“Yang ngelahirin Dedi dan ngerawatnya siapa?”

“Mama...”

“Nah, Mamalah yang berhak ngomong sama Dedi,” senyum Mamanya Dedi menang dalam berdebat.

Bapak Mulyana Derajat, SH akhirnya mengalah.

“Heellooowww...Ded..Ded..kamu masih dengar suara mama kan? Ded..Ded...Dediiiiiiii!!!” teriak Mamanya Dedi, membiarkan ganggang telpon rumahnya mengelatung. Wajah Mamanya Dedi pucat!

“Ma...Mama...ada apa dengan Dedi?” giliran Bapaknya Dedi memasang wajah paniknya.

Mamanya Dedi menggelengkan kepalanya. Lemas. Duduk dibawah lantai, mirip suster ngesot. Soott...sooottt...sooott...!!

“Allloowww....” Bapaknya Dedi meletakkan ganggang telpon ke tempat semula,”MAMAMAAMMAMA!!!”

Glodaakk!!

Ayam di kandang belakang rumah mati seketika. tikus-tikus yang mengendap-endap akan memburu ikan di atas meja makan berkeliaran saling sikut menyikut sesama tikus, cicak di atas tembok jatuh pingsan, aaaww...mendengar suara Bapak Mulyana Derajat, SH yang memecahkan kesunyian malam.

***

“Jeng...selamat ya Dedi akhirnya wisuda setelah kuliah selama empat tahun setengah,” ujar Jeng Wati.

Mamanya Dedi melotot tajam, setajam celurit. Blasss! Menebas apa saja pakai senjata khas Madura bisa tumbang dalam waktu singkat. Ciiiaaatt!!! Hemm.. empat tahun setengah? Ya iyalah, Dedi kan ambil diploma tiga, so kuliah normalnya tiga tahun sudah wisuda. Nih, lebih setahun setengah. Buyeeengg...busyeeett!! katanya, sih jadi MaBa. Mahasiswa Baru? Bukan.. Mahasiswa Abadi, cinta kampusnya. Abisnya, ngeliat Mahasiswi yang feminim, lidah tidak pernah bohong ( kok mirip iklan tipi? ), oh, tuh alasannya...pantes saja wisudanya molor. Xixixi

Mamanya Dedi hanya melempar senyum,”Jeng Wati terima kasih. Oh, ya, si Bagas, sudah kerja?”

Jeng Wati menitihkan air matanya.

Mamanya Dedi memandang dengan wajah terharu,”Ini tisu buat hapus air matanya Jeng Wati.”

“Terima kasih...”

“Syukur deh kalau Bagas sudah kerja, Jeng Wati.” Mamanya Dedi pun pergi dengan gemulainya.

“JENGGGG SRIIII!!!” teriak Jeng Wati.

Glodak!

Ada kecelakaan...ada kecelakaan..bus sama mobil! Toolllooonnggg.... apa gara-gara teriakan Jeng Wati bus sama mobil tuh mengalami kecelakaan?

“Jeng Wati...mau kemana?” teriak Mamanya Dedi.

“Mau mastiin ada berapa korban yang tewas, Jeng Sri.”

“Buat apa?”

“Ya...buat data untuk Bagas di kampusnya?”

Ha? Data? Buat Bagas di kampusnya? Apa Bagas ambil jurusan kedokteran, dinas perhubungan darat? Atau...buat ritual memperdalam ilmu kanuragannya? Kan sekarang lagi trend di tv. Hem...ada ibu atau ayah kandungnya tega menghabisi nyawa anaknya yang masih kecil akibat bisikan gaib. Hayaiii...tuh kunooooo!!

“Saya menyesal, Pak Polisi telah membunuh anak saya sendiri. SUMPAH! Ada bisikan gaib yang nyuruh saya membunuh anak saya sendiri.”

Dunia memang aneh... demi lolos dari hukuman ya, Pak Polisi? Kalau saja Pak Polisi menerima alasan yang tak masuk akal, weeehh...bisa-bisa makin banyak orang yang beralasan : saya bermimpi agar saya kaya, saya harus membunuh anak saya. Atau... amit-amit!!

***

“MAMAMAAAA???”suara cempreng Bapaknya Dedi menambah suasana semakin mencengkram. Orang-orang yang sibuk dan berbondong-bondong antre ingin melihat dari dekat kejadian antara bus dan mobil di depan jalan raya, mendadak memasang wajah beloon.

“Ada apa, Pak pakai teriak-teriak segala?” sahut Mamanya Dedi melepas rol rambut yang bersarang di rambutnya sedari tadi.

“Ada kecelakaan ya di depan rumah kita?”

Ciitttsss!!! Heeeemmm...kemana saja sih dari tadi? Parah banget, padahal hanteman bus dan mobil begitu keras, melengking di penjuru jalan raya ini? Mamanya Dedi hendak melempar kain pel ke wajah suaminya yang ternyata beloon banget! Hufh..coba suaminya jadi artis yang sering memerani tokoh beloon atau komedian di tipi, cieee...ciee...Mamanya Dedi akan memuja-mujinya dengan kata,”Sayang...sudah maem lum? Rehat ntar sakit, loh.”

Dikibas-kibasnya tangan bapaknya kearah istrinya,”Hayoo...ngelamun bapak yang cakep, nih?”

“Iiiiiidddiiihhh...amit-amit mikirin bapak yang cakep! Ngaca, Pak! anak bapak kan sudah gede, mana ada bapak secakep Indra Bruggman?”

“Loh...kalau bapak tak cakep ngapain dulu mama nerima cinta bapak?”

Mamanya Dedi ngegaruk rambutya, dalam sekejap ketombe datang. Padahal, produk shampo mempromikan: Ketombe? Siapa takut? Lah...kok masih ada ya ketombe di kepala Mamanya Dedi? Ampuuunn.... kebiasaan Mamanya Dedi, sering lupa keramas. Hahaha...berarti iklan shampo tuh benar ya? Atau salah Mamanya Dedi semata?

Bapaknya Dedi geram, diangkatnya sarung yang dia pakai tinggi-tingi.

“Suiiiitt...cucokkkk...gedong, cinnnn!!”

“BAPAAAAAKKK!!! Ngapain sarungnya di angkat tinggi-tinggi? Tuh lihat bencong jalanan pada naksir?” sewot Mamannya Dedi.

“Mama cemburu nih ceritanya,” tangan Bapaknya Dedi membelai mesra rambut panjang istrinya. So sweet...kembali 17 tahun silam. Dimana perkenalan pertama kalinya hingga melahirkan seorang putra yang bernama Dedi.

“Bapak... malu sama tetangga...” wajah Mamanya Dedi tersipu malu.

“Ma...pingin...”

“Pingin apa?”

“Itu tuh...tuh..”

“Apaan sih, Pak?”

“Tuh...itu...itu...ah masak Mama pura-pura tak tahu,”

“Yang mana...”

SENSOR!!! Tiiiiitttt......tiiiiittt....!!

Botol mineral berhamburan melempar kearah mereka berdua.

Bapaknya Dedi geram, dikejarnya anak kecil ingusan yang melempar botol mineral kearahnya,”AWAAAASS!!”

***

“Jeng Sri, mau kemana?” tanya Jeng Wati di pagi hari yang buta, emangnya pagi bisa buta juga?

“Malang..”

Spontanitas air mata Jeng Wati menangis tersendu-sendu.

“Loh, Jeng Wati kenapa menangis?”

“Malang...” sambil melangkah membiarkan Mamanya Dedi melongo dengan wajah terheran.

Aneh! Ibu-ibu di kampung ini sungguh aneh! Padahal kampung ini berada di kawasan perumahan elit di ibukota. Ampun, deh!! Kebanyakan nonton film drama yang pandai mengecoh para penonton terbawa dengan kesedihan yang mendalam. Nangis bombay atau nangis bawang ya...semacamnya!

Pertemuan Mamanya Dedi dan Jeng Wati di depan gang Kelinci. Dulunya, warga disini hobi memelihara kelinci. Nah, nama kampungnya adalah Kampung Kelinci, gang Kelinci, dan Jalan Kelinci. Ckckckck...

Loh? Di rumahku kok ramai? Ada apa? Mamanya Dedi terheran saat berdiri di depan rumahnya.

“Innalillahi... Jeng Sri, saya ibu RT Kampung Kelinci turut berduka cita atas meninggalnya Dedi ya?” ucap Ibu RT dengan nada terbata-bata.

“DEDI? Meninggal dunia? Kapan?” wajah Mamanya Dedi seketika pucat.

“Loh..kok Jeng Sri malah syok ya? Bukannya Jeng Sri tadi bilang malang?” sanggah Jeng Wati.

“BUBAAAARRR!!!” bentak Mamanya Dedi.

Pelayat saling pandang.

“Anak saya Dedi belum meninggal dunia...”

“Malang tuh apa maksudnya?” tanya Ibu RT.

“Malang tuh nama kota di Jawa Timur, ibu-bu sekalian. Lebih baik bubaaarrrr....”

Wajah Jeng Wati tersipu malu,”Aaahhh...kukira malang benar nasib Dedi,”

***

Perbekalan yang sudah disiapkan semalam sebelum keberangkatan ke Malang hari ini sudah dipersiapkan sebelumnya.

“Ma, masih inget alamat kost Dedi?” ujar Bapaknya Dedi di beranda depan rumahnya.

“Masih ingat, Pak.”

“Loh kok banyak banget bawa barang bawaannya?”

“Kan ini kebutuhan buat Dedi di Malang, Pak.”

“Iya...sih...”

Ciri khas orang udik, kalau ke kota pasti bawaannya seabrek yang akan di bawa.

“Ngapain bawa pisang banyak banget, Ma?”

“Ini untuk dosen Dedi, Pak.”

“Loh, bapak sendiri ngapain bawa sarung sebanyak tuh?”

“Karena di Malang cuacanya dingin,”

“Kan ada Mama disamping Bapak,”

“Malu sama Dedi, Ma.”

Ditariknya tangan suaminya keras-keras. Hufh! Punya suami yang pikirannya ngeres bangett!! Bawaannya minta jatah malam jumat, katanya sunnah Rosul. Padahal, iya seh...jadi kepingin, nih? Hehehe...opss!

“Jeng Sri mau ke Malang ya?” cegah Jeng Wati yang agak budek alias pendengarannya tak normal.

Mamanya Dedi masang wajah sinisnya,”Ya...”

“Mau dong apelnya.”

“Apel? Buah apel maksudnya Jeng Wati?”

Dianggukkan kepalanya.

“Siap!!”

“Ma, ayoo...angkotnya sudah nunggu tuh!”

“Da...da...da... Jeng Wati...”

“Hufh...kapan yah Bagas selesai kulaih seperti Dedi?” ujar Jeng Wati dalam hati kecilnya.

Jeng Wati melambaikan tangannya.

***

Terminal Arjosari- Malang...

Tiga jam kemudian...

Sampailah kedua orang tuanya Dedi di terminal terbesar di kota Malang.

“Waaaaahh... Bapak, ini toh namanya kota Malang?” teriak Mamanya Dedi.

Bisik-bisik tetangga yang dilakukan Bapaknya Dedi kearah istrinya yang masih berdecak kagum,”Ma...jangan jadi wong ndeso, dong! Bapak malu tuh dilihatin banyak orang.”

“Biariinn... bapak malu ngaku wong ndeso? Tukul aja fine-fine aja tuh ngakui kalau dia wong ndeso,”

“Tuh kan Tukul, Ma. Beda sama kita.”

“Ah...biariinnnn!! Emangnya nih Malang milik tuh orang?” sewotnya.

Dibiarkanlah istrinya menganggumi suasana kota Malang dengan wajah terbinar-binar. Lebih baik aku mengalah, deh! Dari pada ngerocos terus tanpa henti. Hufh! Alhamdulillah..sudah nyampek Malang.

***

“Mama...Bapak...” teriak Dedi saat menjemput kedua orang tuanya.

Seperti adegan sinetron, menangis pula. Cuiihh!! Seperti terpisah berpuluh tahun lamanya, padahal baru sebulan Dedi pulang. Dasaaaarr!! Istriku sudah lebay banget!

“Ded...nih mobil siapa?” tanya Mamanya Dedi dengan wajah penuh tanya.

“Oh, nih, mobil punya teman Dedi, Ma.”

“Waaah...pasti teman Dedi anaknya orang kaya ya?” akhirnya Bapaknya Dedi membuka suaranya.

“Iya, Pak, Ma. Teman Dedi tuh anaknya orang terkenal di kota Malang.”

“Asoyyy...”

“Yok!” ajak Dedi, membukakan pintu Fortuner,”Oh, ya, kenalkan ini teman Dedi, Pak, Ma. Namanya Brian.”

“Selamat siang, Om, Tante...”

“Brian, ayooo...”

Fortuner meninggalkan terminal Arjosari. Empuk. Ber-Ac pula. Jadi betah berlama-lama di dalam Fortuner nih!

***

Keesok harinya, di pagi yang cerah...

“Mama cantik pakai kebaya,” Dedi memuji penampilan Mamanya yang mengenakan kebaya bermotif batik, anggun, elegan, seperti istri Pak Gubernur.

Mamanya Dedi melenggak-lenggok di depan cermin,”Ded, kamu enggak bohong nih?”

Dedi menggelengkan kepala,”Sudah pukul setengah tujuh pagi, Ma. Loh..Bapak kemana?” tanyanya.

“BAPAKK!!!”

Glodak!

Bapaknya Dedi bersiul di depan rumah kontrakan saat sosok cantik berjalan mondar-mandir.

“Ampunnnn.....Ma...sakiit!!” Mamamnya Dedi menjewer, telinga suaminya.

“Rasaiinn!! Sudah punya istri dan anak eh...suka yang daun muda rupanya!”

“Sudah...sudah...sudah...jangan berantem terus, dong! Jadi keacara wisuda Dedi nih?”

Mengangguk secara bersama.

Berangkat ke gedung sakral, dimana mahasiswa akan di wisuda hari ini. Asiikkk...

***

Tiga jam... di dalam gedung yang sakral, panas banget! Padahal di luar gedung sakral di jalam Dieng hujan turun dengan ganasnya. Dedi melirik kearah belakang, dimana kedua orang tuanya duduk bersama orang tua dari penjuru tanah air.

Asoy...namaku di sebut. Dedi Pramana Putra, D III Kepawarisataan, Jurusan Perhotelan. Suara namaku menggema di sudut gedung yang sakral. Dan akhirnya... Dedi di wisuda. Saling berpelukkan dengan wajah sumringah wajah kedua orang taunya Dedi saat nama putranya di panggil dan maju ke depan.

Satu...dua..tiga... blitz, cahaya putih keluar dari lensa kamera. “Waaah...ini bukti kalau anak kita wisuda,” bangga Mamanya Dedi.

“Mama, jangan berisik! Malu, tahu!” cegah Bapaknya Dedi.

“Biariinn...biar Jeng Wati tahu kalau Dedi sudah wisuda,”

“Ma, jangan pamer sama orang lain,” pungkas Dedi.

“Kenapa?” alis Mamanya Dedi dinaikkan keatas.

“Malu...”

“Biarin, Ded. Biar Jeng Wati marah-marah sama Bagas, biar Bagas segera wisuda sepertimu,” tawa ibunya Dedi nyaring keras.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun