Dalam sebuah proses pembelajaran di salah satu univeritas, seorang dosen bertanya pada para mahasiswanya, “Apa definisi mesin?” Sambil mengangkat tangan seorang mahasiswa menjawab, ”Mesin adalah semua hal yang dapat meringankan tugas manusia.” Untuk memperkuat argumentasinya, ia pun memberikan beberapa contoh mesin dan manfaatnya. Mulai dari AC, kalkulator, telepon, bahkan resleting pun menurutnya termasuk mesin.
Tidak puas dengan jawaban sang mahasiswa, sang dosen pun berkata, “Yang saya maksud definisi mesin. Bukan yang lain.” Seorang mahasiswa yang lain mengangkat tangan dan menjawab definisi mesin dengan bahasa Inggris persis seperti apa yang tertulis di buku.
“Hebat! Sempurna!” puji sang dosen mendengar jawaban terebut.
Mendengar pujian sang dosen terhadap temannya, mahasiswa yang menjawab pertama kali memrotes sang dosen, “Apa yang disampaikan oleh teman saya, sudah saya sampaikan tadi, hanya dalam bahasa yang lebih sederhana,” protes sang mahasiswa. Ia pun menambahkan argumentasi bahwa tidak ada gunanya hapal definisi mesin seperti yang tertulis di buku, tapi tidak mengerti maksudnya.”
Terjadi perdebatan sengit antara mereka berdua. Yang mahasiswa berpendapat, tidak ada keharusan mengikuti buku paket. Sedangkan sang dosen berpendapat sebaliknya. Ketika sang dosen merasa kalah argumentasi, ia menggunakan otoritasnya sebagai dosen dengan mengusir mahasiswa tersebut keluar kelas dan tidak diizinkan mengikuti pelajarannya. Kepada mahasiswa yang lain, sang dosen berkata, “Kalau kalian ingin lulus ujian, kalian harus menuliskan definisi mesin seperti apa yang tertulis di buku.”
Itulah salah satu adegan menarik dalam film 3 Idiot. Dalam film tersebut, Amir Khan berperan sebagai mahasiswa yang berusaha mendobrak kemapanan proses pembelajaran di universitas tempat ia belajar, yaitu Imperial College Engineering. Film ini merupakan salah satu film India terbaik (versi saya) selain film My Name is Khan.
Film tersebut seolah ingin mendekonsruksi proses pembelajaran konvensiaonal yang selama ini berlangsung hampir di seluruh dunia, termasuk India sebagai tempat film itu diproduksi. Ada banyak hal yang dikritisi oleh film tersebut. Salah satunya adalah ketergantungan guru terhdap buku paket. Banyak guru memosisikan buku paket sebagai kitab suci dan satu-satunya sumber pengetahuan yang harus dihapal dan diikuti oleh semua siswa. Padahal, al-Quran saja sebagai kitab yang punya kebenaran mutlak masih bisa ditafsirkan. Apalagi hanya buku paket yang posisinya hanya sebagai produk pikiran manusia.
Anggapan keliru tersebut akhirnya memosisikan guru sebagai pengganti mesin fotocopy. Dia menyampaikan materi persis seperti apa yang tertera pada buku paket yang menjadi pegangannya. Ia tidak peduli apakah apa yang disampaikannya dipahami oleh siswa atau tidak.
Bagi guru, penggunaan buku paket yang tidak proporsional dengan menjadikannya sebagai satu-satunya sumber belajar menjadikannya tidak kreatif. Ia akan merasa cukup kompeten dengan materi ajar yang ada di buku paket tanpa ada inisiatif untuk menggali dan mendalami materi tersebut dari berbagai sumber belajar yang lain Sehingga tidak heran banyak guru yang kalah kritis dan kalah cerdas dibanding siswanya. Yang terjadi kemudian adalah guru menjadi tidak punya wibawa di depan siswanya.
Bagi siswa, mereka akan sangat sulit memamahami pelajaran yang hanya bersumber dari buku paket saja. Perlu digaris bawahi bahwa pancaran pikiran siswa, guru, dan pengarang buku sangat berbeda. Mereka berasal dari latar belakang pendidikan, budaya, keluarga, dan pengalaman hidup yang berbeda pula. Seorang guru yang teleh mengenyam pendidikan khusus sampai tingkat sarjana (S1) misalnya, merasa telah menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh siswa-siswanya saat mengajar. Namun kenyataanya tidak demikian bagi siswa-siswa yang baru pertama kali mempelajari materi yang diajarkan oleh sang guru.Begitu juga saat guru tersebut mempelajarinya dari buku paket yang menjadi pegangannya, pasti ada hal-hal berbeda oleh guru dari apa yang diinginkan oleh si pengarang buku tersebut.
Itulah mengapa siswa biasanya sangat sulit memahami pelajaran yang hanya bersumber dari buku paket. Kalaupun terus dipaksakan, siswa hanya akan menghapal apa yang tertera di buku paket tanpa memahami maksudnya.
Menggunakan buku paket dalam proses pembelajaran bukanlah sesuatu yang salah, apalagi kultur sekolah di Indonesia sudah dikondisikan seperti itu. Tapi alangkah tidak patut kalau buku paket dijadikan satu-satunya sumber belajar yang pada akhirnya menyumbat kreativitas guru dan mengebiri kebebasan siswa untuk mendapatkan pengetahuan dari berbagai sumber. (Erick Hilaluddin)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H