Indonesia merupakan “Negara Bencana”. Itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi Indonesia saat ini. Belum tuntas penanganan suatu bencana, telah datang bencana yang lainnya. Korban bencana banjir bandang Wasior, Papua belum selesai ditangani, telah muncul bencana baru berupa tsunami di Mentawai dan meletusnya Gunung Merapi di Magelang, Jawa Tengah.
Rangkaian bencana tersebut menggelitik berbagai kalangan untuk mengungkap berbagai penyebabnya. Ada yang berpendapat bahwa berbagai bencana alam yang terjadi di Indonesia merupakan takdir Allah swt. Yang bisa dilakukan manusia hanyalah melakukan kepasrahan total kepada Allah swt. Ada juga yang beranggapan bahwa bencana merupakan akibat dari dosa dan perbuatan maksiat yang dilakukan oleh mayoritas penduduk Indoesia. Terakhir, tidak sedikit yang berpendapat bahwa kerakusan manusialah yang menjadi penyebab terjadinya rangkaian bencana alam. Pembalakan liar, ketidaktepatan tata kelola lingkungan, dan penambangan illegal merupakan sebagian kecil dari wujud kerakusan manusia.
Mengungkap penyebab bencana merupakan hal penting karena berimplikasi pada terapi yang dilakukan. Tapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana menumbuhkan sensitifitas dan solidaritas sosial untuk sama-sama membantu meringankan derita para korban bencana alam. Karena boleh jadi apa yang dialami oleh saudar-saudara kita saat ini, akan kita alami di masa yang akan datang.
Agama untuk Kemanusiaan
Tidak ada yang menyangkal bahwa semua agama mengajarkan dan menganjurkan penganutnya untuk berbuat baik serta melarang mereka untuk berbuat aniaya. Dengan demikian, benar apa yang dikatakan Gus Dur bahwa kehadiran agama tak lain untuk kepentingan manusia, bukan kepentingan Tuhan karena memang Tuhan tidak butuh bantuan manusia.
Maka tidak heran ketika terjadi aksi penyerangan bangsa Israel ke wilayah jalur Gaza, tempat bermukimnya rakyat Palestina. Seluruh dunia berteriak dan mengecam. Teriakan dan kecaman tidak hanya datang dari negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim. Tapi juga datang dari negara-negara non-muslim. Alasannya jelas karena Israel telah mengusik dan mencabik-cabik kemanusiaan. Untuk kemanusiaan mereka rela melepaskan baju suku, agama, ras, warna kulit, dan beragam perbedaan lainnya.
Islam sendiri sebagai agama rahmatan lil ‘alamin sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Hal ini dapat kita jumpai dalam berbagai firman Tuhan dan sabda Nabi yang menganjurkan untuk menyayangi dan mengasihi siapapun tanpa memandang suku, ras, agama, dan beragam perbedaan lainnya. Salah satunya adalah sabda Nabi, "Tebarkanlah rahmat Tuhan ke seluruh muka bumi, maka niscaya Dia akan berada di langit akan menebarkan rahmt-Nya kepadamu." Bahkan tokoh sekaliber Fazlur Rahman memandang bahwa dimensi kemanusiaan inilah merupakan ajaran Islam yang paling monumental karena korelasinya dengan humanisme dan rasa keadilan sosial yang intensitasnya tidak kalah istimewa dengan intensitas ide monoteistik ketuhanan
Rakyat Lebih Sensitif
Rentetetan bencana alam yang mendera Indoensia akhir-akhir ini memang membuat bangsa ini prihatin, khususnya para korban yang langsung merasakan dampak dari bencana yang terjadi. Namun, di balik peristiwa itu, banyak hal yang bisa dipelajari oleh bangsa Indonesia. Salah sataunya adalah mengasah kepekaan dan kepedulian sosial bangsa Indonesia.
Saya sepakat bahwa pihak yang paling bertanggung jawab dalam hal ini tertu saja pemerintah. Tapi mengandalkan pemerintah dalam memberikan bantuan terhadap korban bencana merupakan pilihan yang tidak cerdas. Apalagi pemerintah saat ini dinilai lamban dan kurang sensitif terhadap penderitaan rakyatnya.
Bukti rendahnya tingkat sensitifitas pemerintah terhadap korban bencana alam adalah pernyataan tidak simpatik ketua DPR, Marzuki Alie yang dimuat beberapa media terhadap musibah yang terjadi di Mentawai. Marzuki menyalahkan penduduk yang tinggal di pantai rawan tsunami. Ketidaksensitifan Marzuki Alie sebagai ketua DPR, ternyata diikuti dengan baik oleh anggota DPR yang lain yang dengan gagah dan tanpa berdosa melakukan kunjungan ke luar negeri dengan biaya milyaran rupiah.
Ironis memang, wakil rakyat yang seharusnya memperhatikan kepentingan rakyat, malah “jalan-jalan” di saat rakyat membutuhkan bantuan dan uluran tangan mereka. Apa yang dilakukan oleh sebagian wakil rakyat yang terhormat semakin memperkuat persepsi rakyat Indonesia bahwa DPR memang tidak sensitif dan tidak peduli terhadap rakyat.
Lambannya pemerintah dalam melakukan proses mitigasi bencana dan tidak sensitifnya sebagian anggota DPR terhadap penderitaaan rakyat, khususnya para korban bencana, berbanding terbalik dengan rakyat Indoensia yang cukup responsif dan sensitif dengan penderitaan yang dialami oleh saudara-saudara mereka.
Sensitifitas mereka diekspresikan dalam wujud yang sangat beragam. Mulai dari yang hanya sekedar mendoakan para korban bencana hampir di setiap kesempatan sampai pada aksi yang lebih konkret dengan melakukan penggalangan dana untuk meringankan penderitaan korban bencana untuk kemudian mereka salurkan melalui lembaga bantuan soaial yang mereka percaya. Atau bahkan tidak sedikit yang langsung memberikan bantuan ke lokasi bencana baik atas nama individu atau organisasi kemanusiaan tertentu. Yang harus digarisbawahi adalah mereka memberikan bantuan dengan memosisikan solidaritas sebagai sesama manusia di atas segala-galanya.
Terakhir, kita berharap agar bangsa Indoenesia memaknai rentetan bencana yang menimpa merupakan tanda dari Yang Mahakuasa untuk berbenah dan shock therapy bagi nurani bangsa ini yang hampir mati. Jangan sampai bencana sudah dianggap menjadi hal yang lumrah sehingga kepekaan kita semakin tergerus dan terdegradasi.
Erick Hilaluddin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H