Mohon tunggu...
Ericka Tri Handoyo
Ericka Tri Handoyo Mohon Tunggu... -

Seorang pemimpi yang selalu mencoba melihat keindahan dari sudut pandang terbalik. Pencinta Kebijaksanaan dan keadilan. Yang selalu Ingin menciptakan dunia yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membumikan Gagasan Indonesia

2 Juni 2016   17:33 Diperbarui: 2 Juni 2016   17:52 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Mengenang 100 hari wafatnya Roch Basoeki Mangoenpoerojo)

Judul di atas sengaja diberi tanda tanya pada akhiranya. Sebagai tanda bahwa sampai hari Ini Indonesia masih menjadi sebuah pertanyaan. JIka diserukan dengan menggunakan tanda seru, mungkin kita tidak lagi berdebat tentang nilai moral. Tentang kepastian hukum. Yang dalam acara acara TV masih diperdebatkan ayat ayat nya. Apalagi tentang Rasa keadilan, yang oleh para aktivis sering diserukan dengan tanda seru sebagai kepastian. Dan oleh kalangan elit masih diperjuangkan. Meski sebagian dari mereka menikmati kemewahan, dan tentunya adil dalam gambar yang demikian bukanlah Indonesia yang bisa diserukan bersama sama. Apalagi diyakini. Karena nun jauh di hati yang terdalam setiap bagian dari anak bangsa, baik dari generasi dulu hingga generasi kemaren sore. Yang teriakan cinta Indonesianya, masih berbayang. Kabur diantara meniupkan semangat, atau pun bertanya. Apakah Indonesia ini? Toh setelah pemilu nama Indonesia akan kembali menguap. Pada kondisi demikian Indonesia bisa diartikan sebagai anomali sosial. Memiliki syarat-syarat sebagai sebuah negara. Tapi kehilangan makna sebagai sebuah ikatan kolektif kebangsaan yang diniatkan dalam nafas kebersamaan gotong royong.

Rakyat belum berdaulat. Pengertian tentang kedaulatannya masih dikaburkan oleh jargon kosong elitnya. Dan cita-citanya belum selaras dengan cita-cita didirikannya negara. Kebersamaanya sebagai bangsa masih disandera oleh kepentingan elitnya yang masih bernafsu mempercantik dirinya dan golongannya. Kata Almarhum, rakyat belum terorganisir sehingga sulit untuk memformulasikan apa yang disebut sebagai kepentingan bersama, apalagi tujuan nasional.  Hubungan rakyat dan negara menjadi tidak selaras karena pengertiannya dibiarkan atau terbiarkan terpisah.

Kita seringkali terjebak dengan kekayaan yang kita warisi. Sering terjebak dalam kebanggan akan kebhinekaan . Sehingga kita lupa bahwa kebhinekaan itu memiliki potensi besar untuk dipecah pecah. Sekaligus merupakan tantangan besar untuk disatukan. Itulah alasan utama didirikannya, Indonesia sebagai sebuah negara. Yang oleh Almarhum Roch Basoeki disebut sebagai sebuah gagasan tentang peradaban baru. Sebuah dunia baru yang merangkum nilai adab kedalam satu struktur adab kehidupan

“Selama tidak ada kesepakatan tentang kebenaran Indonesia, pertikaian horizontal (baca pengertiannya sendiri sendiri) akan terus terjadi, dan memungkinkan untuk pihak manapun yang berkepentingan dengan Indonesia melakukan devide et empire” kata Almarhum Robama dalam orasi budayanya tahun 2013.

Almarhum Roch Basoeki menemukan Kenyataan Indonesia tersebut dari penelusuran seumur hidupnya menggali Indonesia. Dia tidak duduk dibelakang meja. Tidak memerintahkan orang untuk mencari tahu. Juga tidak mengambil bahan bacaan lalu memaksakan ptafsir yang dibacanya. Dia masuk kedalam kompleksitas persoalan Indonesia. Menelusuri simpang simpang masalahnya. Bergerak menyelsaikan bagian bagiannya. Lalu meramu tesisnya dan menuliskannya. Melemparkan refleksi, mengujinya dengan jatuh bangun. Mengabaikan semua kesenangan pribadinya. Dan membuang jauh keinginan keinginan badannya.

Sesekali dia berdiri pada mata si bandon, mbok Tinah, Ujang dan Asep sebagai rakyat. Sesekali keluar dari box rakyat berdiri di sudut penguasa. Masa yang lain, kesempatan dia merenungkannya sebagai pengamat. Lalu mencari kaca besar benggalanya pada dirinya. Diulangngnya berkali kali sampai akhirnya Indonesia terlihat wajahnya. Terlihat rupanya, terdengar suaranya, tercium wanginya, terasa sentuhannya. Dan Indonesia kemudian dilihatnya sebagai cita-cita kehidupan masa depan yang harus dibumikan. Keputusannya untuk melepaskan seragam militernya dilakukannya dengan penuh rasa tanggung jawab. Kesulitannya menjadi Transmigran swakarsa, dilaluinya dengan suka cita. Dan dari sanalah Indonesia terbentang menjadi gambar masa depan Indonesia.

Dalam pergumulan dengan gagasan Indonesia, Dia menemukan kedudukan rakyat sebagai landasan utama pembentukan kebangsaan. Yang kemudian menjadi dasar dari pembentukan sistem manajemen yang melatari penyelenggaraan Negara. Dalam pengembaraanya sebagai Transmigran, dia menemukan rakyat sebagai fondasi utama dalam melihat negara. Orientasi kehidupan bersama dalam wadah negara harus sepenuhnya berorientasi pada rakyat. Negara diibaratkan seperti gelas dan rakyat adalah isinya. Apakah isinya berisi udara ataupun berisi Air disanalah rakyat menemukan tempatnya. Dan tempatnya menyesuaikan dengan kebutuhan rakyatnya. Maka jika negara hanya ditaruh dalam klasifikasi ilmu tanpa amal kerakyatan. Maka Negara dengan sendirinya kehilangan fungsinya, sebagai penata pranata sosial masyarakat.

Melalui beberapa kali kesempatan, almarhum menyatakan Pancasila, UUD 45 dan seluruh perangkat kenegaraan Indonesia tidak berlaku tanpa pernah memaknai kehidupan rakyat sebagai suatu kenyataan sosial yang satu.

Menjadi rakyat adalah kebanggaan buatnya. Membicarakan masyarakat lebih membuatnya bergairah daripada membahas kekuasan. Prestasinya mengatasi persoalan masyarakat lebih membuat matanya berbinar daripada cerita prestasinya di TNI AD yang sering disebutnya sebagai ajang perlombaan mencari kekuasaan. Pada soal soal rakyalahlah dia merasa menemukan sejatinya Indonesia. Ditempat dimana begitu banyak orang menolaknya dia menemukan kebahagiaan batinya. Panggilan hatinya untuk melihat kedalaman jiwa Indonesia, yang disebutnya sebgai suasana batin pendiri Negara. Tempat di mana Pancasila menjadi tidak sakral, melainkan Indah. Pada rakyat dia menemukan Jantung Indonesia. Sesuatu yang terus memberinya alasan untuk terus hidup. Memberikan keyakinan penuh bahwa mimpi Indonesia yang termahtub di pembukaan UUD 45 akan terwujud. Jika rakyat dijadikan subyek utama penciptaan peradaban. Bukan sekedar obyek penelitian yang kemudian menjadi sasaran para petualang kekuasaan, yang kemudian menjadikan rakyat sebagai pekerja.

JIka para terdidik, cendikiawan dan para Ilmuwan juga penguasa tak tau dimana pohon ditumbuhkan, tak mulai dari mana akar bergerak dan menjalar menjadi suatu bentuk kehidupan. Lalu duduk nyaman di pojok pojok ranting pohon yang rimbun. Terlindung dari matahari dan hujan. Tak kan pernah tanaman yang tepat untuk tumbuh kembang biji yang ditanam. Dan pohon Indonesia tidak bisa dilihat dari betapa rimbun daunnya serta betapa indah bentuknya. Tapi juga melihat dimana dia tumbuh, bagaimana lingkungannya, apa masalahnya. Pada proses Inilah dia memilih untuk menelusurinya ke dalam tanah. Mencari sumbernya Indonesia. Menghirup airnya. Dan mencoba membagikannya sebagai biji. Agar tunas tunas yang tumbuh di persada kepulauaan Indonesia sesuai dengan niat menanamnya. Sesuai dengan jadwal panennya. Dan senantiasa bisa memakmurkan seluruh kehidupan disekitarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun