Kepada yth Komnas Ham, KPAI, bro Fadli Zon dan pihak terkait lainnya (negara).
Terkait wacana pemulangan anak-anak eks WNI kombatan ISIS di timteng sana.
Dari perspektif ilmu kesehatan anak, umumnya anak di usia 7 tahun telah memiliki kemampuan memori atau daya rekam otak. Niscaya segala hal dan peristiwa yang mereka saksikan selama di sana tentu akan terekam dan menghasilkan traumatis di sel otak masing-masing.
Trauma yang otomatis mereka bawa serta ke Indonesia adalah mustahil tidak akan berdampak di usia remaja - dewasa mereka kelak. Dan tentu saja, itu berpotensi menciptakan persepsi pribadi dibarengi sikap tentang apa saja sesuai konten dan level trauma masing-masing mereka itu sendiri.
Benar bahwa program kontraradikalisasi adalah salah satu metode persuasif yang bisa berguna, namun bukanlah program cuci otak yang mampu menghapus bersih semua memori ingatan selama selama berada di sana.
Dan tak kalah beresikonya, mustahil jika setelah besar kelak anak-anak tersebut tidak akan menaruh kecewa bahkan dendam pribadi manakala mengingat para orangtua mereka yang tidak turut dipulangkan serta. Siapakah yang dapat menjamin bahwa kemudian nanti mereka tidak akan melakukan reaksi bahkan aksi?
Dan duniapun telah mengetahui salah satu kontribusi jihad bagi kaum wanita simpatisan di sana adalah melayani hasrat sexual pasukan ISIS, siapapun dan kapanpun mereka dapat menyalurkan hasrat tersebut secara bebas terhadap para wanita simpatisan mereka tersebut di sana. Dan serta-merta para kaum wanita tersebut tidak lagi memiliki hak untuk menolak apalagi melawan karena menyadari bahwa hal tersebut bukan lagi suatu sikap suka rela melainkan kewajiban yang tidak bisa dielakkan.
Lantas sekarang anak-anak buah hasil jihad ala nyeleneh tersebut sekonyong-konyong akan diakui sebagai anak sah bangsa Indonesia hanya karena ibunya yang berasal dari Indonesia. Di sini jelas kita sedang dibenturkan dengan rasionalitas yang dipaksakan irasional sebab dikaitkan oleh soal sang ibu yang berasal dari WNI dan latar belakang kelahiran si anak beserta siapa sesungguhnya sang ayahnya atau ayah-ayahnya.
Kemudian, bagaimana lagi ceritanya jika kelak sudah dewasa, berpedoman pada trauma-trauma bawaan tersebut plus bisikan-bisikan liar dari luar negara kita yang mengusik jiwa nasionalisme mereka, akhirnya kemudian justru menggagas kembali gerakan radikal yang kurang lebih sama di negara kita, sinergi antar anak-anak kombatan ISIS yang telah dewasa tersebut bersekongkol dengan sel-sel terorisme dari luar?
MAKA SERIUSKAH IDE PENDEKAR-PENDEKAR HAM TERSEBUT??? Seserius itukah lelucon horor kalian?
Berdasarkan logika sehat-walafiat sebetulnya soal eks WNI kombatan ISIS beserta anak-anak mereka tersebut sudah tidak relevan lagi dalam domain hak azasi manusia, sebab bagaimana mungkin para supporter dan penggiat tirani hak azasi manusia masih saja diberikan penghormatan hak azasi mereka sebagai manusia.
Tak heran jika Inggris, Australia, Perancis, Amerika bersikap tegas dengan menolak kembalinya eks warga negara mereka para pendukung ISIS sekalipun juga terhadap anak-anak bawaan maupun yang dihasilkan di sana. Dapat dipahami bahwa resiko sekecil apapun wajib mereka antisipasi dalam rangka keamanan dan kedamaian negara mereka. Maka dengan sikap tegas tersebut apakah mereka dapat kita tuding sebagai negara yang anti HAM? Dalam banyak fakta justru negara-negara tersebut selalu terlihat paling getol bahkan pionir dalam membela HAM hingga hal-hal sekecil apapun, namun sekali lagi TIDAK terhadap pelaku terorisme yang notabene adalah predator HAM itu sendiri.
Kepada rekan-rekan di Komnas Ham, KPAI dan pihak-pihak terkait lainnya yang katanya bijak dan cerdas dan semestinyalah bijak dan cerdas...
sudahkah kalian pertimbangkan seluruh aspek resiko sebab-akibat tersebut?
Sebagai catatan, barangkali saja kalian lupa bahwa ideologi ISIS senyatanya tidak saja memangsa manusia dengan keyakinan yang berbeda, namun mutlak turut juga memangsa siapapun yang tampak tidak sejalan walau seagama sekalipun.