Mohon tunggu...
ERICHA OKTAVIA
ERICHA OKTAVIA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Traveling

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Realitas dan ilusi

5 Januari 2025   09:44 Diperbarui: 5 Januari 2025   09:44 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis Ericha Oktavia mahasiswi stit Al ibrohimy 

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering kali mengambil realitas sebagaimana adanya, seolah-olah dunia yang kita alami melalui indra adalah satu-satunya kenyataan. Namun, filsafat telah lama menantang asumsi ini. Para filsuf mempertanyakan: apakah yang kita anggap sebagai "realitas" benar-benar nyata, ataukah itu hanyalah ilusi yang dibentuk oleh pikiran kita? Dalam esai ini, kita akan mengeksplorasi hubungan antara realitas dan ilusi dari sudut pandang filsafat, mengupas perspektif metafisika, epistemologi, dan pengaruhnya terhadap kehidupan manusia.

 

Apa Itu Realitas?

 Secara sederhana, realitas dapat didefinisikan sebagai keberadaan segala sesuatu sebagaimana adanya, terlepas dari persepsi atau keyakinan individu. Namun, definisi ini membawa banyak pertanyaan. Bagaimana kita tahu apa yang benar-benar nyata? Dalam filsafat, realitas sering kali dibedakan menjadi dua dimensi: realitas fisik, yang mencakup objek dan fenomena yang dapat diamati, dan realitas metafisik, yang melibatkan konsep-konsep abstrak seperti keberadaan, Tuhan, atau kebenaran mutlak.

 Filsuf Yunani kuno seperti Plato memandang realitas sebagai sesuatu yang melampaui dunia material. Dalam "Allegory of the Cave," Plato menggambarkan manusia sebagai tahanan yang hanya mampu melihat bayangan di dinding gua, sementara dunia nyata berada di luar gua. Bayangan itu adalah ilusi yang diciptakan oleh persepsi indrawi, sementara realitas sejati hanya dapat dipahami melalui akal budi.

 Berbeda dengan Plato, filsuf empiris seperti John Locke dan David Hume berpendapat bahwa realitas dapat diketahui melalui pengalaman indrawi. Namun, pandangan ini pun tidak bebas dari kritik. Immanuel Kant, misalnya, menyatakan bahwa manusia tidak dapat mengetahui realitas sebagaimana adanya (noumenon), melainkan hanya dapat memahami dunia sebagaimana yang muncul dalam pengalaman mereka (phenomenon).

 

Ilusi: Produk Pikiran atau Realitas Semu?

 Ilusi adalah persepsi atau keyakinan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Dalam filsafat, ilusi sering dikaitkan dengan batasan indra manusia, manipulasi pikiran, atau konstruksi sosial. Sebagai contoh, dalam ajaran filsafat Timur seperti Hindu dan Buddhisme, konsep maya menggambarkan dunia material sebagai ilusi yang menutupi realitas sejati, yaitu keberadaan yang tidak terikat pada ruang dan waktu.

 Filsuf modern seperti Ren Descartes juga mempertanyakan keandalan persepsi manusia. Dalam Meditations on First Philosophy, Descartes menggambarkan skenario "demon jahat" yang dapat menipu indra dan pikiran kita, membuat kita percaya bahwa hal-hal yang tidak nyata itu nyata. Hal ini mengarah pada pernyataan terkenalnya, "Cogito, ergo sum" (Aku berpikir, maka aku ada), yang menegaskan bahwa keberadaan pikiranlah yang menjadi satu-satunya kepastian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun