Pernikahan merupakan salah satu kegiatan sakral yang dinantikan oleh banyak pasangan yang sudah berkomitmen. Lewat pernikahan, mereka bisa membangun keluarga kecil impian mereka. Sayangnya, beberapa pernikahan harus berhenti di tengah jalan karena beberapa alasan.Â
Salah satunya disebabkan mental kedua pasangan yang masih belum tertata, sehingga saat ada masalah, bukannya saling berusaha menyelesaikannya tapi malah jadi ajang beradu argumen tentang siapa benar siapa keliru.
Dalam pernikahan, mental yang kuat dan kesolid-an antar pasangan memang sangat dibutuhkan. Makanya, batas usia seseorang melakukan perkawinan diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 16 Tahun 2009 untuk meminimalisir pernikahan dibawah umur yang nantinya ditakutkan akan berujung pada perceraian.Â
Sebab pernikahan berbeda dengan pacaran. Saat pacaran kalo tiba-tiba bosan, atau lagi marahan. Mungkin kita bisa menghindar atau minta putus. Tapi kalo sudah menikah, sudah tidak bisa seenaknya begitu.
Membicarakan tentang menikah di bawah umur atau pernikahan dini, kita pasti sudah banyak menemui fenomena seperti itu. Entah di lingkungan tetangga kita, teman atau mungkin anggota keluarga besar.Â
Faktor dilaksanakannya pernikahan dini pun ada beberapa macam. Mungkin karena faktor hamil di luar nikah, faktor ekonomi, faktor lingkungan yang masih patriarki, bahkan bisa jadi faktor dari mindset masing-masing orang.Â
Jaman sekarang pun di kalangan mahasiswa, kalau lagi pusing-pusingnya mikir tugas celetukkannya mesti, "Pengen nikah aja"Â dan walaupun kelihatannya cuma bercanda, tapi ada lo yang beberapa beneran nikah.
Pun begitu, memangnya benar kalau menikah bisa jadi alternatif untuk  menyelesaikan permasalahan remaja?Â
Pada artikel kali ini, penulis akan membahas fenomena ini sesuai dengan sudut pandangnya. Jadi kalau mungkin teman-teman memiliki sudut pandang yang lain, bisa berdiskusi di kolom komentar.