Mohon tunggu...
Eric Irawati
Eric Irawati Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Mahasiswa Program Pascasarjana \r\nFakultas Kesehatan Masyarakat\r\nUniversitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Catatan Akhir Tahun Bersama BPJS

3 Januari 2015   05:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:55 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Tepat 1 tahun JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang dikelola oleh BPJS  (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) sudah berjalan. Ibarat seorang bayi yang berusia 1 tahun kemampuannya masih belum apa-apa terkadang kalau berjalan masih tertatih, bicarapun belum bisa seperti itulah BPJS saat ini. Ditengah gempuran dan kritikan pedas yang mengalir untuk program JKN ini baik mulai dari system pengelolaannya oleh BPJS, Fasilitas dan sarana prasarananya, Sumber daya manusianya dan kualitas pelayanan yang diberikan saya yakin masih banyak nilai-nilai manfaat positif dengan lahirnya JKN bagi masyarakat  Indonesia. Berikut adalah sebuah kisah nyata seorang yang mendapatkan manfaat program JKN walau harus dengan penuh perjuangan tetapi berbuah manis.

Kisah Ny. S dengan kartu BPJSnya

Sebut saja Nyonya S usianya 60 tahun memiliki banyak benjolan ditubuhnya, teringat akan kisah tetangganya yang mengalami hal serupa dan didiagnosa terkena kanker tulang dan meninggal dunia. Karena Ny.S hanya seorang ibu rumah tangga dan suaminya sudah tidak bekerja lagi maka iapun mengadu pada anaknya bahwa ia memiliki gejala yang sama dengan tetangganya dengan harapan si anak bisa membantunya membawa ke dokter untuk dapat segera ditangani secara medis sehingga kejadian seperti yang dialami tetangganya tidak terjadi pada dirinya. Si anak kebetulan adalah seorang PNS yang berpenghasilan rata-rata dan bukan orang yang kelebihan.  Teringat akan asuransi sosial yang digembor-gemborkan di televisi, dengan semangat ia segera mendaftarkan orangtuanya sebagai peserta asuransi sosial BPJS mandiri untuk kelas 2. Harapan si anak ibunya bisa mendapatkan keuntungan yang lebih dibanding dengan  peserta BPJS yang tidak membayar premi ataupun yang memilih premi untuk kelas 3. Hari berikutnya Ny. S diajak berobat oleh si Anak ke Puskesmas sebagai pelayanan kesehatan tingkat pertama (PPK I) diagnosa dari dokter puskesmas bahwa Ny. S tidak perlu dirujuk ke RS karena benjolan-benjolan itu masih terbilang normal. Karena si anak tidak puas dengan penjelasan dokter puskesmas, iapun membawa ibunya ke dokter spesialis onkologi di sebuah rumah sakit swasta yang belum bekerjasama dengan BPJS. Hasilnya membuat Ny. S dan anaknya merasa lega sang dokter spesialis mengatakan bahwa Ny.S harus dioperasi dan diperiksa jaringannya untuk mengaetahui ganas atau tidaknya mengingat usia Ny.S yang rentan terhadap penyakit sejenis kanker. Si anakpun meminta surat rujukan sebagai pengantar untuk puskesmas agar mau menuliskan rujukan untuk ibunya agar dapat dioperasi dan diketahui apa penyakit Ny. S sehingga pengobatannya dapat segera tuntas dan mencegah terjadinya hal yang lebih buruk.

Pihak puskesmas akhirnya memberikan rujukan untuk ke dokter spesialis bedah umum yang ada di rumah sakit pemerintah sebagai pelayanan kesehatan tingkat kedua (PPK II) sesuai  tempat tinggal wilayah Ny.S sebut saja RSUD P. Pagi-pagi sekali Ny.S harus berangkat ke RSUD P tersebut demi mendapatkan nomor antrian yang awal, mengingat usia Ny.S yang sudah tua si anakpun harus menunaikan kewajibannya untuk mengantar ibunya ke rumah sakit dengan ijin kepada atasannya karena meninggalkan pekerjaan. Ternyata usaha mereka untuk datang pagi tidak begitu membuahkan hasil Ny. S tetap mendapatkan antrian dengan nomor 600an, untung saja ada seorang bapak yang kasihan dengan Ny.S sehingga ia memberikan nomornya untuk Ny.S, beruntung Ny.S mendapatkan nomor antrian 200an. Tibalah saat yang dinanti setelah menunggu selama ± 5 jam Ny. S dipanggil ke ruangan dokter spesialis bedah umum terkejutnya anak Ny.S karena dalam satu ruangan tersebut dipanggil pasien sebanyak 5 orang. Bisa dibayangkan bagaimana dokter tersebut bekerja. Menanyakan keluhan, mencatatnya kedalam rekam medis, dan memberikan anjuran kepada pasien, tidak banyak yang dikatakannya ketika anak Ny.S bertanyapun sang dokter tidak menggubris malahan disuruh Tanya kepada perawatnya. Hal yang sama terjadi pada perawat dokter tersebut, menjawab dengan terburu-buru dan memberikan jadwal operasi untuk 3 bulan kemudian. Ny.s dan anaknya amat khawatir jika untuk konsultasi saja beliau tidak ada waktu menjawab, meraba saja tidak, malah beberapa pasien yang dilihatnya sebelumnya dilihat saja tidak, lalu bagaimana di ruang operasi nanti apakah semua akan terburu buru? Lalu bagaimana hasilnya nanti?.

Jangan ditanya bagaimana perasaan Ny.S dia mulai putus asa, namun si anak menguatkan dengan berdalih mengajak si Ibu untuk berobat saja ke rumah sakit swasta. Namun karena Ny.S tidak mau menyusahkan anaknya ia memilih pasrah saja. Anak Ny. S tidak patah semangat si anak kembali lagi ke puskesmas untuk meminta pindah rujukan ke rumah sakit lain sebut saja rumah sakit H yang juga milik pemerintah yang menurut kata orang lebih baik dari RS pemerintah sebelumnya. Namun apa yang didapat petugas puskesmas yang tidak mau memberi rujukan ke rumah sakit lain menurutnya jika ingin ke rumah sakit H pasien harus meminta rujukan dari RSUD P. Anak Ny. S sangat yakin bahwa menurut petunjuk daftar rujukan BPJS di online RSUD P dan RS H adalah sama-sama RS PPK II, tidak mungkin RSUD P merujuk kepada RS H kecuali RSUD P merujuk pada RS yang lebih tinggi dari PPK II yaitu PPK I. Namun petugas puskesmas bersikeras tidak mau mengganti surat rujukannya, sehingga terjadi bersitegang diantara mereka.

Merasa tidak puas anak Ny. S tidak patah arang ia pergi ke kantor BPJS wilayahnya untuk mengkonfirmasi hal tersebut, ternyata BPJS mengamini bahwa RSUD P tidak perlu merujuk ke RS H. Karena anak Ny. S merasa trauma dengan perlakuan petugas puskesmas, maka ia mengganti PPK I  Ny. S dengan klinik swasta didaerahnya. Hari berikutnya Ny. S dibawa oleh anaknya ke klinik swasta tersebut amat berbeda dengan layanan puskesmas petugasnya ramah, tidak terlalu mengantri dan dokter merujuk Ny. S dengan bertanya RS mana yang mau ia datangi, bersyukurlah karena klinik swasta tersebut dengan mudahnya memberikan rujukan ke RS H.

Dengan perasaan lega Ny. S dan anaknya berangkat ke RS H dimulai pagi-pagi sekali karena khawatir terjadi antrian panjang seperti di RSUD P. Sesampai ditempat antrian memang panjang namun petugasnya sangat ramah, dokter melayani dengan ramah bahkan dengan candaan, seketika rasa lelah karena mengantri sejak pagi hilang ketika menghadapi senyuman ramah para petugas di RS H. Akhirnya penjadwalan operasi dilakukan namun harus menunggu selama 2 minggu. Karena usia Ny. S sudah tidak muda lagi maka pemeriksaan penunjang perlu dilakukan tetapi harus bolak-balik hingga 5 hari, dan itu tak dirasakan karena itu resiko yang harus ditanggung demi sebuah kesehatan apalagi ditambah pelayanan petugas medis dan non paramedic yang amat ramah dan melayani dengan ikhlas. 2 minggu kemudian pelaksanaan operasi sebanyak kurang lebih 15 benjolan Ny.S sudah diangkat dilakukan dengan aman, selamat, lancar dan sehat kembali dan dari hasil patologi jaringan dinyatakan tidak ada kelainan. Ny.S hanya perlu membayar biaya yang tidak ditanggung oleh RS. H hanya Rp. 110.000,00 saja harga yang tidak ada artinya dibandingkan hasil yang diperoleh.

Harapan untuk JKN di tahun 2015 berdasarkan Kasus Ny.S


  1. Keputusan dokter puskesmas untuk mau memberi rujukan setelah mendapat surat rujukan dari dokter spesialis onkologi rumah sakit swasta apakah menunjukkan bahwa dokter di era JKN ini justru lebih apatis terhadap pasien? Atau hanya menerima pasien disaat pasien sudah sekarat?. Alih-alih program Jaminan kesehatan sosial ini menghindari terjadinya Supply Induced demand (pemberian pelayanan melebihi kebutuhan pasien sehingga terjadi peningkatan biaya kesehatan) tetapi malahan justru dokter mengabaikan gejala penyakit pada pasien yang justru akan mengakibatkan penyakit terlambat untuk ditangani dan meningkatkan tingginya angka kesakitan dan kematian.  Peran dokter di fasilitas primer memang dilematis terlalu sering merujuk berakibat buruknya penilaian kinerja di fasilitas layanan kesehatan primer, karena tidak boleh melebihi standar maksimal rujukan yang telah ditetapkan yakni 15 %. Namun kenyataannya banyak pasien yang memang seharusnya dirujuk karena fasilitas layanan Kesehatan primer atau PPK I tidak bisa ditanggulangi tetapi tidak segera dirujuk justru malah diberikan obat-obatan yang tidak berefek kepada penyakitnya sama sekali. Hal inilah hendaknya dikaji kembali tentang bagaimana sebaiknya layanan rujukan dipermudah karena pengobatan yang tepat akan lebih efisiensi dan efektif tidak banyak biaya terbuang untuk membiayai obat yang tidak tepat, dan pasien bisa lebih cepat sembuh dan produktif kembali.
  2. Antrian yang panjang di RS yang bekerjasama dengan BPJS menunjukkan kurangnya fasilitas sarana prasarana, jumlah SDM rumah sakit yang tidak imbang dengan beban kerja yang tinggi. Jadwal tunggu tindakan operasi yang terlalu lama justru mengakibatkan penyakit pasien semakin bertambah parah dan semakin sulit untuk ditangani. Pencapaian target peserta BPJS yang semakin banyak seharusnya pemerintah juga mentargetkan menambah fasilitas sarana prasaran kesehatan dan meningkatkan kerjasama dengan rumah sakit swasta dengan pengkaijan tariff yang lebih layak untuk fasilitas pelayanan kesehatan milik swasta sehingga tidak terjadi penumpukan pasien di rumah sakit-rumah sakit pemerintah.
  3. Kualitas SDM di rumah sakit terutama rumah sakit milik pemerintah yang jauh dari istilah pelayanan prima baik itu petugas administrasi, medis dan paramedisnya semua jauh dari wajah melayani dengan hati. Lalu mengapa berbeda dengan kualitas SDM di RS H yang sama-sama RS milik pemerintah tapi berbeda kualitas pelayanannya?. Perbedaan kualitas pelayanan kesehatan di tiap instansi pelayanan kesehatan dapat saja terjadi bukan hanya Karena kompetensi SDMnya  saja tetapi dapat juga karena banyak factor diantaranya yang paling memungkinkan adalah karena tingginya beban kerja yang mengakibatkan SDM lelah secara fisik dan mental. Tingginya beban kerja dapat mengakibatkan penurunan prestasi kerja  sehingga dapat menurunkan motivasi kerja.  Selain itu masalah organisasi seperti komitmen organisasi, perilaku organisasi perlu ditingkatkan  pada fasilitas pelayanan kesehatan sehingga dapat tercipta kesepakatan organisasi dalam melayani pasien dengan lebih prima.
  4. Ketidaktahuan petugas di Puskesmas  tentang fasilitas layanan rujukan, menunjukkan kurangnya sosialisasi dari BPJS kepada pihak Puskesmas tentang fasilitas layanan rujukan mana yang dapat dipilih oleh pasien. Ataukah ada konspirasi antara puskesmas denga RS yang yang ditunjuk puskesmas?. Perubahan kebijakan dan situasi politik yang cepat sekali berubah-ubah terkait dengan BPJS, hendaknya BPJS selalu menginformasikan baik secara langsung atau tidak langsung melalui media massa kepada masyarakat dan petugas kesehatan sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Selain itu petugas kesehatan dan masyarakat tidak boleh bersikap apatis tentang informasi yang beredar agar antara pasien dan petugas kesehatan bisa saling mengingatkan dan menerima masukan

Cerita diatas adalah catatan akhir tahun yang saya ambil dari sebuah kisah nyata yang terjadi di pertengahan tahun 2014 terlaksananya program JKN.  Mari kita maklumi tentunya 1 tahun ini semua pihak masih beradaptasi dan terus memperbaiki kualitasnya secara berkelanjutan. Saya yakin di tahun 2015 program Jaminan Kesehatan Nasional ini akan semakin memperbaiki diri dan semakin matang dan kita masyarakat sebagai pengguna tidak bosan-bosannya mengkritisi  program ini agar semakin baik dan akan makin banyak masyarakat Indonesia yang berkata “ Untung Ada program JKN” atau “ Untung saya menjadi peserta BPJS !!”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun