Benarkah penumpang wanita di kereta api commuter line Bogor—Jakarta lebih “sadis” daripada penumpang pria? Anda yang pernah menjadi penumpang kereta api atau malah merupakan pengguna setia kereta api tentu tahu bahwa PT KAI, yang kini sudah berevolusi dan terus berevolusi untuk memberikan layanan terbaik, telah menyediakan gerbong khusus wanita, yaitu gerbong pertama dan terakhir dari rangkaian kereta. Keberadaan gerbong wanita itu merupakan bentuk perhatian dan penghargaan PT KAI terhadap kaum wanita.
Keberadaan gerbong wanita tentu disambut dengan gembira oleh kaum hawa. Tidak saja wanita hamil dan lansia, wanita pada umumnya pun, yang sebelumnya harus bersaing keras dengan para pria untuk menaiki gerbong dan berburu tempat duduk, dapat berharap ada keringanan dan kemudahan ketika mereka melakukan perjalanan dengan kereta api. Lalu, bagaimana kenyataan dalam kehidupan hari demi hari yang dialami para wanita yang diberi julukan rombongan kereta (roker) itu?
Gerbong wanita itu memang eksklusif untuk wanita. Jarang sekali gerbong itu dimasuki oleh pria. Kalaupun ada, hal itu disebabkan ketidaktahuan sang penumpang pria. Penumpang pria yang salah masuk itu pun segera mendapat teguran dari petugas kereta yang sekarang selalu siap berjaga di setiap gerbong dan peron. Akan tetapi, ada fakta lain yang menarik yang saya alami dan dialami pula oleh penumpang wanita lain di gerbong wanita. Pertama, baru pada masa pemberlakuan gerbong wanita ini saya melihat sesama penumpang wanita bertengkar, bahkan berkelahi (hingga saling menjambak) karena berebut untuk menaiki gerbong wanita atau berebut tempat duduk. Kedua, wanita dianggap lebih perasa daripada pria, tetapi ternyata di gerbong wanita, wanita seperti kehilangan rasa. Banyak sekali peristiwa wanita muda mengabaikan atau tidak memedulikan wanita hamil atau lansia. Oleh karena itu, beberapa penumpang wanita kemudian lebih memilih gerbong campur karena gerbong campur dianggap lebih manusiawi, misalnya ibu hamil dan lansia lebih besar kemungkinan untuk diberi tempat duduk oleh para pria.
Dari fakta itu, ada apa sebenarnya dengan para wanita? Apa yang menyebabkan makhluk yang lemah lembut itu tidak lagi memiliki tenggang rasa, bahkan terkesan “sadis”? Tampaknya fenomena ini dilatarbelakangi berbagai faktor, misalnya makin keras perjuangan para wanita pekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehingga kepekaannya berkurang atau faktor lain, misalnya pola pendidikan dalam keluarga dan masyarakat kita yang melahirkan wanita yang kehilangan kepedulian, bahkan kepedulian kepada sesama wanita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H