“Batita di Bogor diperkosa dan dibunuh tetangganya”
Begitu salah satu bunyi cuitan sebuah surat kabar online lewat akun twitter-nya kemarin,Rabu 11 Mei 2016. Tautannya saya buka dan mulailah saya membaca. Hhhmmm…, kasus kejahatan seksual macam begini kok ya sudah seperti menu kejahatan utama yang setiap hari gratis dan harus ada yah? Kasus perkosaan, salah satunya yang cukup ekstrem dan belum lama terjadi yakni kisahnya si Yuyun seolah kezhaliman “remeh temeh” karena gampang sekali dilakukan, diperbuat.
Jadi inget slogannya Bang Napi bahwa,
“kejahatanbukan hanya karena ada niat pelakunya tetapi juga karena adanya kesempatan,Waspadalah… Waspadalah…!”,
dan jadi inget pula seorang rekan kerja yang berujar mengungkapkan keheranannya dan ketidaksukaannya saat kami sedang ngobrolin kasus Alm. Yuyun itu ;
“ Tuh kan…,hukumannya ringan… gak bikin jera sih.., emang mestinya perkosaan kaya’ gitumbokya dikasih hukuman beratan… misalnya kebiri gitu…”
Saya memaklumi dan sepaham usulan teman saya itu yang saat ini juga tengah dijadikan salah satu alternatif hukuman bagi para pelaku kejahatan demikian oleh pemerintah.
Tapi bila dikorek – korek lagi, entah kita sadar atau enggak, realisasinya memang ada perilaku kita sebagai orang dekat atau sekitar yang ikutan andil memaksimalkan tindakan kejahatan seksual demikian, itu tuh… setali tiga uang dengan bunyi slogan Bang Napi yang terakhir, Kesempatan dan Kewaspadaan. Meski sepele, 2 poin tersebut keseringan lupa alias terabaikan justru saat kita dalam upaya mencegah tindak kejahatan apapun, tidak hanya perkosaan.
Kesempatan
Dalam hal ini tidak sedang mengomentari mereka yang sudah berpakaian dan berperilaku sopan yah…,tapi ada koreksi bagi mereka yang belum bersikap demikian. Mengapa? Saat seorang ipar saya menggunakan bus APTB misalnya, seorang wanita yang tidak kebagian tempat duduk mengenakan dress yang “aduhai”. Benar memang kondisi di dalam bus meski terisi penuh tidak sampai terlalu berdesak – desakan, tapi guna meminimalisasi pelecehan di dalam kendaraan umum kan ada baiknya untuk keamanan diri sendiri agar mengenakan pakaian yang “tidak mencolok” begitu bukan?. Bukannya gak boleh loh ya.., bilapun memang ada tuntutan tampil menarik maka bisa pula memilih mengenakannya di lokasi (karena boleh jadi saat sudah dilokasi yang sesuai berpenampilan demikian lumrah – lumrah saja) atau tampil menarik yang disesuaikan, karena kesan “berpenampilan menarik” dimaknai berbeda – beda bagi tiap orang sehingga adapula ditemukan kesan berpenampilan menarik yang ingin ditampilkan justru dinilai seronok.
Mungkin kebanyakan atau sebagian kita akan ada yang berseloroh “ah yang berjilbab kena kejahatan seksual bahkan diperkosa juga ada kok, kurang tertutup apa coba?”, atau “tuh di Sudirman – Thamrin aja bule – bule seliweran wara – wiri pakaibaju minim semua, tapi adem ayem aja mereka gak kena pelecehan seksual kok”. Baiklah, fakta di lapangan memang mencatat bahkan yang berpakaian sopan, rapi, juga tertutup pun ada yang tertimpa tindak kejahatan seksual demikian, kalau dipikir lagi macam se-seksi atau se-seronok apa sih itu si batita kok ya sampai diperkosa?, tetapi yang ingin saya pertebal memang bukan perkara si korban yang mengundang dan dipersalahkan, tetapi bagaimana kita tetap dalam upaya meminimalis timbulnya kejahatan itu sendiri, bukankah kita memang harus berupaya semaksimal mungkin untuk kebaikan diri sendiri?.
Lain lagi contohnya soal sikap, seorang tetangga saya yang memiliki anak semata wayang (laki – laki) sering sekali menggandeng perempuan yang berbeda - beda (entah teman sekolah, sepergaulan, atau komunitas) ke rumahnya, dengan si perempuan yang kebanyakan dari mereka mengenakan bawahan hotpants dan atasan mini / tali satu, dan entah dalam kurun berapa lama berduaan saja dirumah, baik saat ada orang tua mereka atau tidak meski mereka berdua terlihat mengobrol di ruang depan. Alhamdulillah saat ini sudah tidak demikian karena di sekitar rumah saya ada warga yang dituakan dan kemungkinan besar orang tua si anak diberitahu olehnya. Saya ketahui pula si bapak pernah bercerita bahwa dirinya sudah memberitahu salah satu perempuan yang dibawa si anak itu ;
“Padahal udah saya bilangin tuh cewek, gak usah datang kemari lagi nyari – nyari anak saya”
Hehehe…disinilah kadang kita juga suka lupa, kejahatan seksual bukan partisipasi seorang saja untuk mencegah, bilapun kita sudah menasehati pihak lain yang terkait seperti bapak itu yang menasehati perempuan yang dibawa anak laki –lakinya kerumah, tetapi kontrol ketat terhadap keluarga sendiri juga harus tetap tegas dan kontinyu dilakukan bukan?. Dari sini pula kita belajar bahwa salah satu substansi penting yakni pembiaran terhadap sikap kurang sopan atau tidak patut dilakukan contohnya sedikit saja menyimpang dari nilai sosial terhadap lingkungan sekitar mulai unit terkecil seperti keluarga adalah juga kesempatan atau peluang tindak kejahatan seksual bisa terjadi, mungkin tidak segera atau saat ini tapi bisa nanti.
Balik lagi kekasus Alm. Yuyun itu misalnya, bahwa kemungkinan besar ada pembiaran atas perilaku buruk yang terjadi sebelumnya ditolerir oleh lingkungan terdekat para perilaku (meminum miras dan menonton video porno) sehingga itu kenapa ke-14 pemerkosanya tidak ada kontrol kuat saat akan melakukan tindakan pemerkosaan, bila sudah demikian maka tak perlulah sampai berpakaian seronok nan menggoda karena berhijab dengan cadar bahkan anak kecil yang belum tau fashion pun bisa digarap kan?
Kewaspadaan
Kadang, masih banyak dari kita (termasuk saya) kendor soal kewaspadaan karena ada hal umum yang sudah terbiasa dilakukan demikian atau menjadi kebiasaan. Kasus Batita yang diperkosa oleh pemuda usia 26 tahun diatas umpamanya, ada kemungkinan orang tua / lingkungan terdekat korban menganggap biasa anak batita itu main ke rumah pelaku karena memang memiliki keponakan yang sebaya dengannya sehingga bentuk pengawasan lainnya terabaikan.
Benar sih namanya juga masih batita masa’ iya mau dikurung terus dalam rumah?, lumrahnya juga main dengan teman – temannya guna interaksi dengan lingkungan sekitar bukan? tetapi tetap saja makhluk berusia 2,5 tahun begitu yang masih ringkih tentu tidak bisa asal asoy geboy ditinggalkan dalam jangka waktu tertentu sendirian tanpa pendamping, ditinggal BAB saja sudah cukup bagi si kecil melakukan atau terkena hal – hal fatal juga buruk loh. Bilapun sudah menjadi kebiasaan (karena sebelumnya kita yang membiasakan) main dalam jangka yang tidak sebentar di rumah temannya misalnya maka baiknya tetap didampingi, dan saat harus meninggalkan untuk urusan terdesak segera setelah selesai agar didampingi kembali atau perketat pengawasan dengan sering – sering melongoknya, bukan malah sebaliknya mengurus urusan yang lain karena “mumpung” anak bisa ditinggal dan ada orang lain yang menemani, bagaimanapun repotnya sangatlah tidak baik meninggalkan si kecil sendiri atau main sendirian tanpa pengawasan orang tua, bahkan dengan orang terdekat juga kita tetap harus kontrol dan awas juga sebagai bentuk tanggung jawab total kita sebagai orang tua (tetapi juga jangan jadi lebay atau berlebihan, yang akhirnya sedikit – sedikit ketakutan banget, gak boleh ini dan itu…), kini saya jadi paham betul kenapa ibu saya meski ada si mbaknya tetep ngotot menemani cucu, anak - anaknya kakak saya.
Kebiasaan umum lainnya sebagai pemicu juga harus awas diperhatikan, salah satunya itu mengapa anak perempuan sejak dini sedikit demi sedikit agar diajarkan menjaga sikap dihadapan ayahnya sendiri (utamanya hal – hal tertentu), agar bila sudah menginjak besar atau usia baligh ia akan paham kenapa harus tidak satu tempat tidur dengan ayah atau tidak lagi seronok buka baju sembarangan saat ada ayah atau anggota keluarga lainnya khususnya lawan jenis meski dekat. Lucu tapi jangan jadi abai pula, seperti seorang rekan kerja saya yang memiliki anak perempuan dan si anak merasa tidak risih bareng mandi sama ayahnya walau usianya sudah agak besar (SD). Mungkin terlihat sepele ya kawan? Iya, tapi bibit – bibit kecil yang mampu kita minimalis atau berpotensi berdampak buruk ke depan lebih baik segera dipangkas agar tidak membesar nantinya to?, bukan buruk sangka apalagi terhadap keluarga sendiri, karena buruk sangka dengan sikap waspada itu jauh beda!.
Ada lagi misalnya, mungkin juga pembaca sudah banyak yang mengetahui soal Joged Bumbung dari Bali yang kini mengalami pergeseran makna dari asal – muasalnya dulu. Tengok saja videonya yang bisa diakses di Youtube dan beberapa sumber di dunia maya lainnya, bahwa miris melihat ada anak – anak belum cukup usia ikutan menonton banyak gerakan erotis demikian, entah ada orang tuanya atau tidak, tapi disitu jelas terlihat bahwa hal yang tidak patut demikian lumrah di depan umum.
Okaylah…mungkin ada yang berujar, itu kan adat? Itu kan budaya?, baiklah bila alasannya karena budaya meski lewat situs http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbbali/2015/05/28/joged-bumbung-dari-sederhana-menjadi-fenomenal/ menjelaskan bahwa tarian adat tersebut kini sudah berubah dari versi lama ke versi baru yang dipandang sebagai sesuatu yang erotis dan porno tetaplah bukan dasar kita boleh bersantai ria bila ada unsur yang sedikit banyak nantinya menjadi salah satu pemicu tindak kejahatan seksual bukan?, dengan anak – anak “boleh” secara bebas merdeka melihat tarian bumbung versi baru itu saja sudah salah satu sikap yang tidak baik karena melakukan pembiaran terhadap tontonan “demikian” dibiasakan dipertontonkan, utamanya terhadap bocah – bocah. Belum lagi gempuran massif video – video “syur” lewat smartphone yang saat ini umum ditenteng anak –anak dan dengan mudah sekali di akses, itu sebabnya poin kewaspadaan adalah mutlak perlu sebagai salah satu kontrol agar tingkah polah yang mulai menyimpang mereka – mereka yang masih dini cepet bisa diarahkan kembali kepada hal – hal positif.
Akhirnya, soal kejahatan seksual yang masih marak dan menimpa siapapun sesukanya meski klise tak melulu-lah mempersalahkan korban karena bersikap begini atau berpakaian begitu…atau tak hanya sampai menghukum pelaku dengan hukuman yang sesuai nan layak diterima, tapi kejahatan seksual atau tindak kejahatan lainnya selain perkosaan memang butuh andil semua, pemerintah dengan sungguh – sungguh bersama regulasinya yang mudah2an kedepannya memperbarui lagi dengan hukuman yang tepat dan imbang bagi pelaku serta kita sebagai masyarakat yang berupaya terus mempersempit peluang terjadinya kejadian demikian berulang serta tingkat waspada yang tidak ala kadarnya :-)
Sumber Ilustrasi Gambar : global.liputan6.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H