Mohon tunggu...
Erfan Adianto
Erfan Adianto Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Hanya seorang buruh biasa yang ingin berbagi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Jakarta-Heidelberg, dari Batik Sampai Bertemu Pak Habibie, Sebuah Catatan Perjalanan

5 Desember 2011   22:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:47 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jakarta-Heidelberg, Dari Batik Sampai Bertemu Pak Habibie, Sebuah Catatan Perjalanan

Oleh: Erfan Adianto

Pada tanggal 12 November sampai 26 November 2011 lalu, saya dan beberapa kawan seperjuangan diberikan kesempatan oleh perusahaan tempat kami “mencangkul sawah” untuk mengikuti sebuah pelatihan di negerinya Adolf Hittler tepatnya di sebuah kota bernama Heidelberg, kota yang terletak di bagian barat daya Jerman dan merupakan kota terbesar ke lima setelah Stuttgart, Mannheim, Karlsruhe dan Freiburg im Breisgau di negara bagian  Baden-Württemberg. Berbeda dengan Mbo Bakul Jamu Della Anna, kompasianer Gaganawati dan kompasianer senior mBak Inge yang sudah lama malang melintang di daratan Eropa, kedatangan saya di Jerman adalah kali pertama perjalanan saya ke luar negeri. Sungguh jika artis Tukul bersama saya, pasti dia akan bilang “katrok kowe, ndeso....”

[caption id="attachment_146733" align="alignright" width="323" caption="Suvenir Sarung Handphone Batik (sumber: rumahbatiksolo.com)"][/caption]

Pelatihan yang kami jalani sungguh menyenangkan, dengan diskusi, berbagi pengalaman dan kerja kelompok, waktu tidak terasa berjalan dengan cepat. Karena pelatihan ini bersifat sangat teknis maka saya tidak akan berpanjang lebar tentang hal itu, namun yang paling membuat peserta lain merasa terkesima bahkan kawan-kawan seperjuangan saya dari tanah air adalah ketika saya membagi-bagikan cenderamata kepada teman-teman baru kami dari berbagai manca negara berupa sarung handphone dan tatakan gelas bermotif batik yang sudah saya persiapkan sebelumnya dari tanah air, dengan pesan khusus bahwa batik adalah warisan budaya dunia dari Indonesia bukan dari Malaysia he..he..

Walaupun masih dapat menikmati film dan musik di pesawat,dengan waktu terbang sekitar 15 jam dan transit 1 jam di Singapura,akhirnya kebosanan menyergap juga. Saya membunuh kebosanan itu dengan jalan-jalan di koridor pesawat sambil melemaskan otot badan dengan senam ringan, sesekali menyapa pramugari yang menurut saya sudah cukup berumur, janganlah berharap pramugarinya sebening dan sekinyis-kinyis maskapai penerbangan nasional yang terkenal dengan keterlambatannya itu. Kami sampai di bandara International Frankfurt sekitar pukul 6 pagi waktu setempat, setelah melewati pemeriksaan pasport dan pengambilan bagasi kami keluar melalui pintu B2 dengan leluasa tanpa melalui pemeriksaan mesin scanner terhadap tas yang kami bawa di kabin, hal ini berbeda dengan yang kami alami ketika kami pulang ke tanah air di bandara Internasional Soekarno-Hatta kami harus melewati prosedur pemeriksaan tas yang kami bawa di kabin pesawat dengan mesin pendeteksi sebelum keluar dari bandara, dengan sebelumnya menyerahkan secarik kertas deklarasi bahwa barang yang kami bawa tidak melanggar peraturan kepabeanan Republik Indonesia. Masih berhubungan dengan mesin pendeteksi ini, ada perbedaan signifikan antara bandara Soekarno-Hatta dengan bandara Frankfurt, Jerman dan Changi, Singapura. Walaupun kami hanya transit di Singapura, namun sebelum memasuki ruang tunggu pemeriksaan dilakukan dengan seksama termasuk dengan mengeluarkan laptop dan kamera dari tas maupun covernya untuk dilewatkan mesin pendeteksi, demikian pula ketika kami akan pulang ke tanah air ketika akan memasuki ruang tunggu bandara Frankfurt pemeriksaan dilakukan dengan ketat oleh petugas bandara, bahkan kamera saya sempat diidentifikasi sidik jari yang menempel di badan kamera dan beberapa kawan yang menggunakan sepatu dengan sedikit unsur logam, diminta untuk melepasnya dan sepatupun harus melalui mesin pendeteksi. Rupanya antisipasi dini untuk mencegah hal hal yang tidak diinginkan ketika diatas pesawat terbang dilakukan dengan sangat detil dan teliti.

[caption id="attachment_146736" align="aligncenter" width="550" caption="Peta Kota Heidelberg dan Jalur Transportasinya (dokumentasi: Erfan Adianto)"][/caption]

Keluar dari bandara Frankfurt sudah disambut dengan udara yang dingin menyejukkan namun jika berlama-lama akan menusuk badan, saya melihat indikator suhu udara di dashboard mobil penjemput  kami berkisar 4 derajat Celcius, namun memang  salju belum turun, rupanya kami belum beruntung menyaksikan dan merasakan salju turun dari langit. Perjalanan dari bandara Frankfurt ke hotel tempat kami menginap yaitu di Leimen sebuah kota kecil 7 km sebelah selatan kota Heidelberg ditempuh selama kurang lebih satu jam melalui jalan tol. Entah karena saat itu hari minggu pagi yang memang lebih sepi dibandingkan dengan hari-hari lain ataukah memang ada hal lain, saya tidak menjumpai antrean kendaraan untuk membayar atau mengambil kartu saat masuk maupun keluar dari jalan tol selayaknya saya jumpai setiap hari di pintu tol dalam kota dan pintu tol Cibubur serta gardu tol miring Cimanggis. Ah katroknya saya, jawabannya ternyata ada pada alat GPS yang terpasang pada setiap kendaraan yang terintegrasi secara online dengan billing system pada operator jalan tol, operator jalan tol tinggal menagihkan kepada pemilik kendaraan yang tentu saja sudah teridentifikasi pada database mereka. Saya pun berandai-andai jika sistem ini diterapkan di Indonesia, ah...jangan jangan saya tidak bertemu lagi penjaga pintu tol secantik Elma Theana karena sudah dirumahkan terlebih dahulu mengingat sistem integrasi online ini benar-benar  tidak membutuhkan lagi penjaga pintu tol.

[caption id="attachment_146737" align="aligncenter" width="501" caption="Beberapa Sudut kota Heidelberg (dokumentasi: Erfan Adianto)"][/caption]

Kekaguman saya bertambah setelah mencoba menggunakan transportasi umum semisal trem dan taksi, kereta trem yang digerakkan oleh listrik ini sangat nyaman dan aman serta yang paling penting adalah ketepatan waktu kedatangan dan keberangkatan pada setiap halte, walaupun 1 jalur rel kereta itu digunakan trem dengan berbagai jurusan. Bepergian dengan taksi pun di kota Heidelberg akan disambut dengan ramah oleh pengemudi taksinya, sependek yang saya tahu walaupun mereka mengemudikannya cukup kencang, namun ketertiban dan saling menghormati antar pengendara benar-benar ditunjukkan salah satu contoh adalah walaupun jalur arah berlawanan kosong, pengemudi tetap berurutan sesuai jalurnya, tidak ada yang berusaha mendahului menggunakan jalur dari arah yang berlawanan, artinya garis marka benar-benar dipatuhi. Demikian pula kendaraan bus, walaupun di jalan tol yang lenggang, namun kecepatan kendaraan tetap tidak boleh lebih dari 100 km per jam.

[caption id="attachment_146738" align="aligncenter" width="574" caption="Beberapa Sudut Kota Munchen (dokumentasi: Erfan Adianto)"][/caption]

Pada kesempatan kali ini saya sangat berharap dapat menemukan pedagang kaki lima selayaknya biasa saya jumpai di pinggir jalan kawasan Pasar Minggu, Cibinong ataupun Depok. Namun saya akhirnya mendapatkan kekecewaan karena di sepanjang jalan yang  saya lalui ketika berkesempatan berkeliling kota Heidelberg, sungguh saya tidak menemukannya kecuali di kawasan khusus pejalan kaki atau pedistrian area, dimana memang kawasan ini hanya dikhususkan untuk para pejalan kaki. Sayapun berpikir kalau saya buka lapak di luar kawasan ini atau buka lapak di  trotoar pinggir jalan raya, kena “garuk” aparat apa nggak ya? He..he..he..Jalan jalan di kawasan pedistrian Bismarckplatz ini mengasikkan, disamping toko makanan minuman, baju, bioskop dan lain-lain juga terdapat pedagang kaki lima dengan lapaknya yang permanen, ya permanen dan teratur karena memang tidak seperti lapak-lapak di sepanjang trotoar Pasar Minggu, dan tentu saja perempuan-perempuan Jerman yang jika dibandingkan dengan Cinta Laura, Nikita Willy bahkan Sophia Latjuba, artis-artis kita itu lewat saja kecantikannya.

Sebelum saya berangkat ke Jerman, kebetulan sekali saya mendapat informasi dari seorang kawan yang pernah pelatihan di salah satu negara di Eropa bahwa soal makanan akan menjadi tantangan tersendiri. Memang betul adanya informasi dari kawan tersebut, selain daging babi dan kandungan alkohol yang dicampur pada makanan yang bagi muslim hal itu haram, hal lainnya adalah soal rasa. Bagi saya yang menyukai masakan berbumbu dan hentakan rasa pedas, masakan di Jerman terasa datar-datar saja. Saya pun menyiasati dengan membawa saos sambal sashet 2 bungkus besar, dan ternyata cukup manjur menambah hentakan rasa pedas pada makanan yang saya santap yang semuanya tentu tidak dapat saya masak sendiri alias beli jadi saja he..he..Adapun jika menginginkan makanan yang lebih terhindar dari daging babi dan tentu ada nasinya (khas orang Indonesia, belum dapat dikatakan makan kalau belum makan nasi) mampirlah ke restoran Turki dengan menu kebab atau restoran Cina dengan spesial menu atas permintaan yaitu ikan laut plus salad.

Entah yang memulai siapa, pada pertengahan waktu pelatihan yang memakan waktu setengah bulan ini, tiba-tiba saja kami merindukan sholat berjamaah di masjid. Demikian pula kawan kawan kami yang beragama Kristen tiba-tiba saja merindukan beribadah di gereja. Berdasarkan informasi dari mbak resepsionis hotel yang manis, maka kami pun bersepakat pergi ke kota Mannheim dimana terdapat masjid yang didirikan oleh sebuah yayasan yang sebagian besar anggotanya keturunan Turki ( Mannheim Islam Birligi, Yavuz Sultan Selim Camii ) dengan didahului dengan insiden seorang dari kami tertinggal di dalam trem ketika kami beramai-ramai turun di halte di dekat masjid tersebut. Namun syukurlah kawan kami tersebut dapat menemukan kami di sekitar masjid, karena kawan kami tersebut diberitahu oleh seorang ibu bersama anaknya yang cantik, yang kebetulan sekali melihat kami serombongan turun dari trem. Ada rasa yang berbeda ketika kami sholat berjamaah di masjid dan diantara masyarakat yang mayoritas bukan Muslim, rasa yang mungkin hanya masing-masing dari kami yang dapat menerjemahkannya, demikian pula saat kami sholat berjamaah di sebuah musholla di bandara International Frankfurt sesaat sebelum kami terbang kembali ke tanah air , saat adzan magrib dikumandangkan oleh seorang dari kami,mendengar suara adzan khas Indonesia  sungguh kerinduan untuk pulang ke tanah air semakin membuncah.

[caption id="attachment_146735" align="aligncenter" width="339" caption="Bersama Bapak Habibie (dokumentasi: Erfan adianto)"][/caption]

Adalah Prof. Dr. Ing Bacharuddin Jusuf Habibie, putra Parepare Sulawesi Selatan, mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi  yang pertama dan terlama dalam sejarah Republik Indonesia (1978-1998), mantan Wakil Presiden ke 7 dan tentu saja mantan Presiden Republik Indonesia ke 3 yang sangat kebetulan kami jumpai dan sempat kami ajak bercengkrama di bandara International Changi, Singapura, ketika kami transit dari Frankfurt menuju tanah air. Tanpa kami sadari ternyata beliau sebenarnya satu pesawat bersama kami dan dugaan kami benar adanya beliau  pulang ke tanah air untuk menghadiri resepsi pernikahan putra dan putri petinggi negeri ini, namun yang membedakan tentu saja beliau ada di first class dan kami ada di kelas ekonomi he..he..he..Maka bisa ditebak, ruang tunggu E4 bandara International Changi membuncah heboh karena setelah beliau berkenan bercengkerama dan berfoto-foto bersama kami, penumpang Indonesia lainnya turut ambil bagian berfoto bersama sehingga ruang tunggu agak sedikit gaduh, namun hal ini untunglah tidak sampai mengundang petugas bandara menghentikan kegaduhan kami ( atau mereka sudah biasa ya, lihat orang Indonesia heboh...). Sebelum berpisah untuk menuju ke dalam pesawat menuju Jakarta, kami sempat iseng menanyakan kesediaan beliau untuk maju kembali sebagai calon presiden pada pemilu tahun 2014, namun beliau dengan ringan menjawab bahwa beliau sudah cukup tua, 75 tahun, siapapun presidennya yang penting  tersedia lapangan pekerjaan, dan kamipun mendoakan beliau agar selalu diberi kesehatan yang prima agar masih dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi kemajuan bangsa Indonesia.

Pasar Minggu, 6 Desember 2011

Salam hangat,

Erfan Adianto

Tulisan tulisan saya yang lain di Kompasiana:

Satuan Pengamanan, Beda Institusi Gedung Beda Perlakuan

Saudara Flu Telah Datang

Masih Relevankah Anda Dan Saya Membayar Pajak?

Bung Karno…Bangsamu Memang Bangsa Tempe

Di Belakang Tabrakan Beruntun

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun