[caption id="attachment_276908" align="alignnone" width="300" caption="Sumber ilustrasi:www.sukiman.com"][/caption]
Sebuah judul berita di sebuah surat kabar cetak, akan menarik perhatian pembaca apabila ada di halaman depan atau halaman 1 dengan huruf lebih besar dan tebal serta ditambah dengan gambar ilustrasi apalagi gambar atau foto itu berwarna. Saya menjadi maklum adanya mengingat hari itu tanggal 30 September 2010 yang sedang menjadi topik hangat di halaman depan harian Kompas Cetak adalah bentrok dua kelompok massa di Jalan Ampera Jakarta Selatan. Namun saya lebih tertarik mengulas salah satu berita di harian ini juga yang ada di halaman 4 yaitu Penguatan Kewenangan. Didukung, Gubernur Tak Dipilih Langsung. Huruf-huruf untuk judul tersebut lebih kecil dari judul-judul berita yang lain di halaman itu apalagi tidak ada ilustrasi gambarnya.
Pada berita tersebut yang bertepatan dengan diadakannya diskusi panel bertajuk“Penguatan Peran Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di Daerah Untuk Memberdayakan Sinergitas Sistem Pemerintahan yang Kuat dalam Menunjang Pembangunan Nasional” (tajuk yang cukup panjang untuk sebuah forum diskusi). Bertempat di Gedung Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Jakarta Rabu 29 September 2010, dua gubernur hasil pemilihan langsung yaitu Gubernur Banten Ratu Atus Chosiyah dan Gubernur Sulawesi Utara SH Sarundajang memberikan pandangannya dalam diskusi tersebut.
Ratu Atut Chosiyah yang dilantik menjadi Gubernur Banten pada tanggal 11 Januari 2007 ini menyatakan bahwa pemilihan gubernur akan lebih efektif jika dilakukan oleh DPRD setempat karena dapat meminimalisasi pelibatan rakyat dalam praktek kampanye hitam. Entah sebagai curahan hatipengalaman pribadi, entah pengalaman teman temannya sesama gubernur. Saya tidak sepenuhnya mengerti tentang kampanye hitam yang dimaksud gubernur Banten tersebut, apakah hal itu terkait dengan gugatan yang dilayangkan oleh rival utamanya dalam pemilihan gubernur Banten saat itu yaitu Mbak Marissa Haque yang kebetulan juga sebagai salah satu Kompasianer di sini (Saya tidak perlu menuliskannya disini, anda dapat membaca sendiri postingan-postingannya Mbak Marissa Haque). Dari statemen tersebut saya hanya menyimpulkan beliau merasa tidak nyaman apabila dalam pemilihan langsung gubernur menggunakan cara-cara kampanye hitam namun dengan bahasa yang cukup halus dengan mengatas namakan rakyat. Kalau kampanye hitam yang diluncurkan lawan-lawan politik itu tidak benar, mengapa harus merasa tidak nyaman?
Pernyataan lain yang muncul pada diskusi itu adalah dari Gubernur Sulawesi Utara, SH Sarundajang. Sama dengan Ratu Atut Chosiyah, sang gubernur yang dilantik pada 20 September 2010 ini juga melemparkan curahan hatinya tentang betapa mahal biaya yang harus dikeluarkan oleh calon gubernur-wakil gubernur untuk kampanye pemilihan secara langsung. “Biaya kampanye sangat mahal sehingga saat terpilih, gubernur sibuk mencari uang untuk mengembalikan biaya yang telah dikeluarkan”, demikian kata beliau pada diskusi tersebut. Mencermati pernyataan tersebut kembali apakah hal tersebut merupakan pengalaman pribadi atau mewakili rekan sesama gubernur tentunya menjadi menarik untuk dikaji bagaimana cara mengembalikan modal kampanye yang digunakan untuk pemilihan secara langsung tersebut. Dengan logika sederhana saja apabila upaya pengembalian modal kampanye itu sesuai dengan peraturan yang ada tentunya hanya mengandalkan gaji dan tunjangan sebagai gubernur saja, demikian pula hal sebaliknya anda dan saya pasti sudah dapat menduganya dari mana cara mengembalikan modal kampanye yang mahal tersebut. (saya pun teringat dengan biaya politik yang mahal yang diulas dalam bukunya Mas Wisnu Nugroho, Pak Beye dan Politiknya)
Dengan 33 provinsi, 398 kabupaten dan 93 kota, Republik Indonesia akan mengadakan pemilihan kepala daerah secara langsung sebanyak 523 kali dalam kurun waktu 5 tahun (sudah dikurangi provinsi D.I Yogyakarta, karena metode pemilihan gubenurnya belum menemukan kata sepakat dengan pemerintah pusat). Maka dapat dibayangkan sangat mahalnya biaya yang dikeluarkan oleh kandidat gubernur, bupati dan walikota untuk meraih jabatan yang diimpikannya. Implikasi selanjutnya adalah bagaimana cara mengembalikan modal kampanye tersebut apabila sudah terpilih menjadi kepala daerah yang konon dengan demokratis tersebut. Tentunya kurang bijaksana kalau gebyah uyah atau membuat sama kondisi semuanya akan seperti itu, tidak tertutup kemungkinan terpilih pula kepala daerah yang menggunakan modal kampanye kecil saja, maka saya sangat berbahagia jika ada para sahabat saya yang dapat mengabarkan kepada saya beserta tautannya.
Terngiang ditelinga saya puisi Negeri Para Bedebah nya Addi M Massardi dan kilatan-kilatan film Alangkah Lucunya Negeri Ininya Deddy Mizwar.
Salam Kompasiana
Erfan Adianto,
seorang buruh biasa.
Silakan baca juga artikel yang lain:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H