[caption id="attachment_270135" align="alignnone" width="300" caption="oom pasikom, Kompas Cetak 25 September 2010, halaman 6"][/caption]
Karikatur cerdas Oom Pasikom yang dimuat pada Kompas cetak hari Sabtu, 25 September 2010 di halaman 6 ini membuat saya tersenyum simpul dan berujung dengan tersenyum getir.
Menyikapi serangan kelompok bersenjata terhadap markas kepolisian sektor Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara pada Rabu 22 September 2010 dini hari yang menewaskan 3 orang anggota Polri, dinilai sebagai penentangan terhadap negara sehingga pimpinan negara ini membuat instruksi kepada TNI dan Polri agar negara tidak boleh kalah, lebih lengkapnnya ada di:
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/23/03504942/negara.tidak.boleh.kalah
Negara tidak boleh kalah, konteks yang lebih luas dan saya tangkap adalah tidak hanya terhadap tindak kekerasan bersenjata terhadap aparat sajadan hanya untuk TNI dan Polri saja, namun di setiap elemen peri kehidupan berbangsa dan bernegara negara tidak boleh kalah. Contoh kecil selain terhadap teroris, negara pun tidak boleh kalah oleh perilaku korupsi dan negara tidak boleh kalah oleh pengerukan dan penghisapan sumber daya alamoleh kapitalisme global. Mengapa negara tidak boleh kalah? Saya memahaminya semata-mata hanya untuk mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara yaitu seperti tertera dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 : "...suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial..."
Untuk urusan kontestasi pemeringkatan korupsi ternyata negeri ini menjadi juaranya setidaknya di tingkat Asia Pasific, demikian hasil yang dirilis oleh “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) – Hongkong pada medio Maret 2010, survey ini dilakukan terhadap 2,174 responden dari berbagai kalangan pelaku bisnis kelas menengah dan atas di Asia, Australia dan Amerika Serikat yang menjalankan usaha di 16 negara terpilih. Dengan mengantongi nilai7.98 (2008.), 8.32 (2009) dan naik menjadi 9.07 (2010) negeri tercinta ini mempunyaiprestasi sebagai negara paling korup di Asia Pasifik mengungguli Kamboja, Vietnam, dan Filiphina, selengkapnya :
Sah-sah saja apabila ada sementara pihak yang tidak terlalu peduli dengan hasil survey tersebut dengan alasan survey-survey tersebut dilakukan oleh lembaga asing yang mempunyai kepentingan terhadap arus kapitalisme global di Indonesia, akan tetapi setidaknya sebagai warga negara Indonesia dapat memahami ada di mana posisi ekonomi Negara Indonesia di kawasan Asia Pasific . Lantas sebegitu parahkah tingkat korupsi Indonesia. Sebegitu mudahkah orang Indonesia menerima suap? Atau diantara 234, 2 juta penduduk Indonesia tidak adakah warga Negara Indonesia yang benar-benar bersih dan dapat mengelola Negara ini menjadi lebih baik? Sampai kapankah Negara ini akan kalah oleh korupsi? Mungkinkah upaya menyapu lantai kotor dilakukan dengan sapu dan penyapunya kotor juga oleh lumpur ?
Mencermati perkembangan terakhir kasus hilangnya ayat tembakau pada Undang Undang Kesehatan No 36 Tahun 2009 dan pembelajaran dari tidak dicantumkannya nikotin sebagai zat adiktif pada Undang Undang Kesehatan tahun 1992, bahwa penghilangan nikotin sebagai zat adiktif dan hilangnya ayat tembakau pada Undang Undang Kesehatan republik tercinta ini adalah sepenuhnya by design. Sejak tahun 1991 Michael J Thompson, dengan dibiayai oleh Rothmans Holding Ltd, salah satu elemen kapitalisme global yang berpusat di AS, menyusun strategi untuk menembus industri rokok di Indonesia, strategi lengkapnya ada di sini:
http://cetak.kompas.com/read/2010/09/17/03212927/rolls-royce..234
Yang menarik adalah dilibatkannyapejabat negara pemerintahan dan politisi di parlemen sebagai mitra lobi potensial dalam strategi itu, salah satunya menekankan ancaman ekonomi jika rokok dibatasi dan mencegah agar peringatan merokok yang rencana semula berbentuk gambar dan diganti-ganti (rotating health warnings) menjadi hanya berbentuk teks yang sederhana. Di negara lain, peringatan merokok sudah lama berbentuk gambar. Postingan ini tidak bermaksudmembenturkan antara kompasianer perokok dan kompasianer yang bukan perokok, tapi utamanya adalah mencermati bahwa kebijakan publik negara ini tidak bisa lepas dari campur tangan agen-agen kapitalisme global. Belum lagi jika menelaah kiprah PT Freeport yang sejak tahun 1960 sudah mengadakan ekpedisi di tanah Papua dan sebetulnya terganjal pada tahun 1963 oleh kebijakan pemerintah Soekarno dan baru terlaksana kontrak karya pada tahun 1967, mengingat rentang waktu yang sangat pendek (1963-1967) dan diantara tahun tersebut terjadi peristiwa pergantian kekuasaan bangsa ini, membuat benang merah tidak kuasa terhubung dengan sepak terjang agen-agen kapitalisme global pada peristiwa 30 September 1965 tersebut. Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang berani merevisi kontrak PT Freeport, sementara tidak ada satu pasalpun yang secara jelas mengatur bahwa pemerintah Republik Indonesia dapat mengakhiri Kontrak Karya PT. Freeport, demikian pula jika PT. Freeport melakukan pelanggaran atau tidak memenuhi kewajibannya sesuai kontrak. Sebaliknya PT Freeport dapat sewaktu-waktu mengakiri kontrak tersebut jika menilai pengusahaan pertambangannya sudah tidak menguntungkan lagi secara ekonomis.
Negara tidak boleh kalah oleh terorisme, negara juga tidak boleh kalah oleh korupsi dan kapitalisme global (terngiang suara seseorang berbicara tentang "United Stated of America is my second country" dan "Saya akan berada paling depan dalam pemberantasan korupsi")
Salam Kompasiana
Erfan Adianto,
seorang buruh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H