[/Bolang]
Rinduku berjelaga, tak terjamah
Sepertinya orang orang enggan menyentuhnya
Rinduku mengering, binasa
Seolah olah hujan tak sudi membasahinya
Detik berlari
Musim berganti
Rindu tercekik
Aku terpekik
Rinduku mati!
Rinduku mati!
Mati!
Â
"Mas aku rindu, kapan kita bisa bertemu?" Aku mengirimkan pesan singkat ke nomer hp kekasihku, Firman. Entah ini rindu yang keberapa yang aku kirimkan minggu ini. Puluhan, atau bisa juga ratusan. Aku tak pernah bisa menahan rindu di dadaku, apalagi menyimpannya lama lama.
5 menit, 1 jam, balasan yang aku tunggu tak kunjung datang. Puluhan, atau mungkin ratusan rindu yang telah aku kirim kepada kekasihku itu, sepertinya salah jalan atau tersesat hingga tak pernah sampai tujuan. Dadaku perih, mataku pedih, dan air mata mulai mengalir tanpa bisa aku cegah.
Momen momen seperti ini yang membuatku serba salah. Kalau menuruti rasa rindu, aku pasti sudah pergi ke rumahnya atau ke tempat kerjanya, lalu menghambur ke pelukannya. Tapi, ah, siapalah aku. Untuk menunjukkan rasa sayang di depan umum saja, aku tak berhak.
Aku melempar handphone ku ke atas ranjang dengan kesal. Entah kapan rindu yang membuncah di dadaku ini bisa aku tuntaskan.
"Aku mencintaimu, aku mencintaimu seperti pecandu yang mencintai secangkir kopi hingga ke tetes tetes terakhirnya," ujarnya suatu ketika.