[/gambar: dok pri]
Lanjutan bab 1
Endah
Semalam, aku hanya mampu memandangi punggungnya dari belakang saat dia pergi. Aku sadar kalau kata kataku begitu keterlaluan. saat aku melihat ke dalam dua bola matanya, aku tak hanya melihat amarah, tapi juga rasa sakit. Tidak ada yang lebih dia benci selain pembicaraan tentang mantan suaminya. Tapi semalam, aku malah menyamakan kak Willy dengan orang itu. Aku menyesal. Tapi sepertinya penyesalanku datang terlambat. Tanpa menoleh lagi, dia meninggalkanku begitu saja di pinggir jalan.Â
Memang seharusnya aku meminta ijin dulu ke kak Willy sebelum memberikan nomer handphone ku ke kak Eric. Tetapi, waktu itu aku hanya berpikir kalau kak Eric sama seperti teman teman kak Willy yang lain, Kak Yuni, kak Dewi, atau kak Rio. Aku benar benar tak menyangka kalau hal itu akan memicu kemarahan kak Willy.Â
Sepulang dari Cause Way Bay, kak Willy marah besar. Selama beberapa bulan menjadi pasangannya, baru semalam  aku melihat dia marah seperti itu. Mungkin benar kata orang, jika kecemburuan bisa membuat orang hilang akal. Mata yang biasanya teduh, berkilat kilat penuh amarah. Tangan yang biasanya membelai lembut rambutku, malah digunakan untuk menamparku. Dan pelukanku yang biasanya mampu menenangkannya, malah membuatnya semakin kalap. Aku hanya bisa menangis dan menangis.Â
Sebenarnya, aku menangis bukan karena handphone ku yang baru  dibelinya dua bulan lalu sebagai hadiah, dibanting dan hancur berkeping keping. Tamparan keras di wajahku juga bukan penyebab air mata ku jatuh bercucuran. Aku hanya tak habis pikir, kenapa hanya karena masalah sepele, dia tega menyebutku pelacur murahan. Padahal, selama ini, aku tidak pernah mengenal laki laki lain. Tak pernah beramah tamah dengan tomboy lain. Aku selalu berusaha setia seperti sumpah yang pernah kami ucapkan bersama. Aku sudah menyerahkan hatiku bulat bulat kepadanya. Â
Aku menyentuh pipiku yang masih terasa perih. Semalam, saat aku pulang ke apartemen, dai dai yang memang selalu menunggu kepulanganku, bertanya dengan nada penuh kekhawatiran. "Apa yang terjadi padamu Endah?, kenapa mukamu merah?, ini seperti bekas tamparan, sebentar..." Dai dai lalu beranjak ke dapur untuk mengambil kompresan.Â
"Tidak usah, Dai dai, aku tidak apa apa. Hanya saja, tadi ada teman yang bertengkar dan aku berusaha memisahkan mereka. Eh, malah aku yang kena tampar," aku sengaja berbohong agar tak membuatnya semakin khawatir.
"Ah, untung bukan kamu yang bertengkar, sudah sana mandi, setelah mandi baru kita kompres lukanya."
"Baiklah," jawabku lirih.