Desember 2014, pesawat yang aku tumpangi mendarat di bandara juanda sekitar pukul 10 malam. Setelah urusan di imigrasi beres, aku segera meluncur ke kampung halamanku di kota Batu menggunakan jasa mobil travel. Aku sengaja tidak memberitahu orang tua kalau aku pulang kampung karena aku hendak memberi kejutan kepada mereka berdua.
Jam 1 dini hari, saat pintu rumah pintu dibuka oleh ibu, alih-alih memberi kejutan, aku yang terkejut bukan kepalang melihat tubuh ibuku yang dulu gemuk dan segar, sekarang terlihat sangat kurus dan tidak sehat. Aku sampai tak bisa menahan tangis, padahal aku adalah orang yang tidak mudah untuk mengeluarkan air mata. Beliau bilang kalau beliau menderita diabetes mellitus yang membuat berat badannya turun drastis. Saat itu beliau rutin mengkonsumsi obat diabetes yang dibeli di apotik, setiap hari.
Sekitar satu bulan aku berada di rumah, tiba-tiba ibuku jatuh sakit dengan keluhan nyeri hebat di bagian perut. Saat itu sudah jam 11 malam, dan kami memutuskan untuk membawa ibu ke UGD Rumah sakit Baptis, Batu. Awalnya sangat sulit membujuk ibu agar mau pergi ke Rumah sakit dengan alasan, "takut biayanya mahal." Ibu akhirnya mau berangkat ke Rumah sakit setelah aku bilang bahwa sisa tabunganku masih ada, apalagi jika hanya untuk membayar pengobatan beliau.
Sampai di UGD, ibu langsung ditangani oleh petugas paramedis. Sambil menunggu kedatangan dokter jaga, kami disarankan untuk mengurus administrasi terlebih dahulu. Setelah bertanya nama, hal berikutnya yang ditanyakan petugas adalah apakah ibu memiliki kartu BPJS kesehatan dan adikku menjawab bahwa ibu memilikinya sembari mengulurkan sebuah kartu ke arah petugas. Proses administrasi sangat mudah, begitu juga proses pemindahan ibu dari UGD ke kamar rawat inap. Ya, malam itu, ibu harus dirawat inap di Rumah sakit karena kadar gulanya sangat tinggi, tepatnya 600 mg/Dl.
Aku yang 10 tahun terakhir bekerja sebagai TKW di Hongkong, tidak begitu paham dengan BPJS. Aku kemudian bertanya kepada adikku, apa itu kartu BPJS. Adik bilang BPJS adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang berfungsi untuk menyelenggarakan program jaminan sosial bagi masyarakat. Sedangkan kartu yang dimiliki oleh ibu merupakan kartu BPJS kesehatan yang dahulunya bernama ASKES. Aku cukup kebingungan, bukankah ASKES biasanya dimiliki oleh PNS atau diberikan kepada orang yang tidak mampu. Ternyata, semenjak januari 2014 ASKES yang berubah menjadi BPJS kesehatan tidak hanya menyasar PNS atau orang tidak mampu saja, tetapi juga masyarakat umum dengan adanya program BPJS kesehatan mandiri. Peserta BPJS mandiri dibagi menjadi 3 kelas yaitu kelas pertama, dengan membayar premi rp.59.500 (sekarang rp.80.000) per bulan, kelas kedua yang membayar rp. 42.500 (sekarang rp.51.000), dan kelas ketiga, rp. 25.500 setiap bulannya.
Saat itu, ibu dirawat selama 5 hari di kamar kelas 1 sesuai dengan kelas BPJS kesehatan yang beliau miliki. Bisa dikatakan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh petugas paramedis juga dokter ahli penyakit dalam, sangat baik. Jadi, anggapan bahwa pasien yang menggunakan kartu BPJS tidak dilayani sebaik pasien umum, adalah anggapan yang salah. Di hari kelima, ibu diijinkan untuk keluar dari rumah sakit karena keadaannya sudah jauh lebih baik. Sebelum pulang ke rumah, aku ditemani adik laki lakiku dipersilahkan untuk mengurus administrasi. Aku sudah menyiapkan sejumlah uang untuk berjaga jaga jika ternyata kami disuruh membayar biaya tambahan. Ternyata, kekhawatiran kami tidak terbukti, biaya pengobatan yang dikenakan kepada ibu adalah nol rupiah alias gratis. Aku sampai ternganga karenanya, aku benar benar tak menyangka.
Saat ibuku di rawat di rumah sakit itu, aku bertemu dengan seorang tetangga yang istrinya juga mengidap penyakit yang sama seperti ibu, bahkan lebih parah. Beberapa jari kakinya bahkan terpaksa diamputasi karena sudah membusuk. Istrinya dirawat di kelas 3 sebagai pasien umum. Beliau bercerita bahwa selama istrinya sakit, beliau sudah menjual beberapa petak tanah untuk biaya pengobatan.
"Kenapa bapak tidak mengurus kartu BPJS untuk istri bapak?" tanyaku. Beliau menjawab selain karena tidak tahu cara mengurusnya, juga karena dia tidak punya uang untuk membayar premi BPJS tiap bulannya karena beliau hanya seorang petani yang serabutan. Kemudian adik laki lakiku menjelaskan bahwa untuk mengurus kartu BPJS sangat mudah, hanya dengan membawa kartu keluarga dan KTP ke kantor BPJS terdekat. Premi yang dibayar juga tidak mahal, hanya rp.25.500 setiap bulan. Tentu itu jauh lebih murah daripada menjual pekarangan untuk biaya pengobatan. Beliau cukup mengerti, dan yang aku dengar sekarang mereka sudah memiliki kartu BPJS yang dibantu pengurusannya oleh ketua RW tempat mereka tinggal.
Sejak pertama kali jatuh sakit, ibuku menjalani 5 kali rawat inap dan 2 kali operasi, yaitu operasi pengangkatan batu empedu dan operasi katarak. Bahkan sampai sekarang ibuku masih sering menjalani rawat jalan di rumah sakit Baptis Batu, karena kadar gulanya yang sering naik sehingga membutuhkan suntik insulin setiap pagi dan sore. Semua biaya pengobatan ibu, ditanggung oleh BPJS kesehatan.