***
Willy mengaduk aduk makanan yang ada di hadapannya tanpa selera. Nasi goreng udang yang tadi dipesannya, belum berkurang sesendok pun. Sop Tom Yum favoritnya masih lebih beruntung, karena cuma tinggal setengah mangkok. Se galau apapun manusia, jarang ada yang bisa menolak kelezatan yang ditawarkan semangkok sop Tom Yum, apalagi jika sop itu buatan warung Thailand langganan Willy. Udang, cumi cumi, kerang, dan kepiting, yang semuanya masih fresh, direbus dalam kuah asam, manis, dan pedas, khas negara Gajah Putih. Nikmat sekali.
Biasanya, Willy mengajak Rani makan di tempat ini. Rani sendiri tidak suka dengan sop Tom Yum, dia bilang, rasanya aneh. Dia lebih sering memesan mie goreng seafood, itupun kalau dia mau makan. Seringnya, Rani hanya menemani Willy sambil meminum teh tarik, tanpa memesan makanan.
Rani, dia gadis yang baik. Dia juga begitu mencintai Willy, Willy bisa merasakannya. Karena kebaikan hatinya itu pula jika Rani memutuskan untuk pulang ke kampungnya. Ibunya sakit komplikasi, dan Rani disuruh pulang agar ada yang merawatnya. Rani memang anak perempuan satu satunya di keluarga itu.Â
Kakak pertamanya laki laki, dan dia sudah berkeluarga. Kakak pertamanya itu tinggal dan bekerja di Banjarmasin sebagai agen makanan ringan. Kakak kedua Rani yang juga laki laki, bekerja sebagai TKI di Korea selatan. Mereka meng-ultimatum Rani untuk pulang merawat ibunya. Sedangkan biaya pengobatan selama ibunya sakit, menjadi tanggung jawab kedua kakaknya. Rani tak punya pilihan lain, dia harus pulang.
Dan dua minggu lalu, Willy mengantarkan Rani ke bandara untuk pulang ke Indonesia. Hongkong International Airport, begitu orang sering menyebut bandara yang sangat sibuk itu. Mata Willy berkaca kaca, dia tak rela melepas kepergian gadis yang telah setahun lebih menjadi kekasihnya itu. Sedangkan Rani , dia malah menangis sesenggukan di pelukan Willy tanpa peduli banyaknya pasang mata yang menatap heran ke arah mereka.Â
"Maafkan aku kak," ucap Rani terbata. Willy menjawab ucapan Rani dengan mempererat pelukannya.
"Hati hati di perjalanan." Willy mengelus pelan rambut Rani yang berwarna pirang. Â
"Jika kita mau sedikit berpikir positif, mungkin saja ini cara Tuhan untuk menyadarkanmu Amui. Dia ingin kamu bertobat dengan cara memisahkan kita berdua. Kisah kita, cerita kita, cukup kamu jadikan sebagai kenangan buruk yang harus dikubur dalam dalam. Semoga di Indonesia, kamu mendapatkan jodoh seorang lelaki tulen, bukan orang sepertiku. Salam untuk kedua orang tuamu, dan semoga ibumu cepat sembuh," tambah Willy.
Rani menatap Willy sesaat, lalu menenggelamkan kepalanya ke pelukan Willy semakin dalam. Pelukan Willy, adalah tempat yang paling tenang, tempat yang paling nyaman, dan tempat yang paling membahagiakan baginya. Rani benar benar tak ingin kehilangan pelukan itu. Tapi apa daya, kesehatan ibunya, Â jauh lebih penting dari apapun di dunia.Â
Â