"Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan iqra!"
HASIL riset menyebut: Siswa tingkat SMU berbagai negara diwajibkan membaca buku sastra. Eropa dan AS rata-rata 30-an buku. Jepang 12 buku, Singapura dan Malaysia 6 buku, dan Indonesia nol buku! (Taufik Ismail)
SMU zaman Hindia Belanda, siswanya wajib baca buku sastra minimal 20 buku selama tiga tahun masa pendidikannya. Tokoh-tokoh besar yang jadi siswa SMU di zaman ini, antara lain Soekarno, Mohammad Hatta dan Ali Sasroamidjoyo (perdana menteri Indonesia, 1950-an).
.
Mengapa buku sastra? Apakah berarti kita ingin menjadikan semua anak di negeri ini menjadi sastrawan? Bukannya negeri ini membutuhkan lebih banyak insinyur, ahli hukum, dan tenaga medis, juga kontraktor?
Ooo, tentu tidak!
Membaca bukan sekadar untuk mengerti arti kata, arti kalimat dan jalan cerita sebuah kisah. Membaca yang benar bukanlah sekadar kegiatan kognitif. Membaca bukan sekedar untuk 'ngerti' dan sekadar tahu. Membaca itu untuk mengolah rasa, mengasah kepekaan, serta membangkitkan kesadaran.
Membangun kecintaan pada membaca bukanlan pekerjaan 'satu malam Aladin' dan tanggun jawab sekolah saja.
Bangsa yang membaca akan lebih bijak, karena ia memiliki banyak jendela untuk memandang masalah dari berbagai sudut.
Jadilah bangsa yang “Iqra!”, bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan “iqra!”.
Ijinkan harap ini: Suatu saat nanti Makassar tidak hanya memiliki gedung-gedung tinggi, mall-mall besar nan megah, jalan-jalan lebar dan mulus tapi juga memiliki lebih banyak toko-toko buku yang indah, perpustakaan yang nyaman, membuat kita mau berlama-lama.