Raka dan adiknya, Mila, hidup di tempat yang tersembunyi di balik perbukitan hijau, hanya suara angin yang berbisik lembut dan tenang namun penuh tantangan. Matahari pagi menyelimuti desa dengan cahaya keemasan, bersama keluarga kecil yang sederhana dan istimewa. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil yang sederhana, terbuat dari kayu, warisan dari orang tua mereka yang sudah tiada. Ayah mereka meninggal pada tahun 2014 karena serangan jantung, dan setahun kemudian, ibunya wafat akibat penyakit kanker. Sejak saat itu, Raka, yang kini duduk di bangku kelas 3 SMA, harus mengambil alih tanggung jawab besar dalam hidupnya. Meskipun masih muda, Raka tidak pernah menyerah. Dengan penuh kasih sayang, ia merawat Mila yang masih kelas 2 SD, memastikan adiknya tetap bisa sekolah dan tumbuh dengan baik. Setiap hari, sepulang sekolah, Raka bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.
   Meskipun hidup serba sulit, semangat dan tekad Raka untuk memberikan kehidupan yang lebih baik bagi adiknya tidak pernah padam. Baginya, Mila adalah sumber kekuatan, harapan, dan alasan untuk terus berjuang. Di tengah keterbatasan, mereka tetap saling mendukung, menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil, dan bermimpi akan masa depan yang lebih cerah. Raka percaya, dengan usaha dan cinta yang kuat, mereka bisa menghadapi segala rintangan yang ada.
   Pada saat libur sekolah, Mila membantu kakaknya berjualan keliling. Setelah keliling ke beberapa desa, tidak ada satupun yang datang menghampiri untuk membeli dagangannya. Akhirnya mereka merasa lelah dan memutuskan untuk istirahat di pinggir jalan. Mereka duduk sambil berbincang-bincang tentang Penjualan hari ini.
Mila bertanya kepada kakaknya, "Kak, kenapa ya dagangan kita selalu sepi?"
Raka menjawab "Sabar ya Dik, mungkin itu belum rezeki kita."
   "Tapi kan kue dagangan kita rasanya enak, bahannya juga dari bahan yang berkualitas." kata Mila.
   "Iya Dik, tetapi pendapat orang berbeda-beda, belum tentu pendapat kita sama dengan orang lain." jawab Raka.
   "Ya sudah, Kak. Ayo kita pulang saja sambil membagikan kue kita pada orang yang lewat." jawab Raka.
   Keesokan harinya, seperti biasa, Raka dan Mila bersiap untuk berjualan kue di depan taman bermain. Pagi itu, mereka sudah merasa pesimis, berpikir bahwa dagangan mereka akan sepi lagi seperti hari-hari sebelumnya. Namun, di luar dugaan, kali ini justru berbeda. Dagangan mereka laris manis, pembeli berdatangan silih berganti, dan hari demi hari, gerobak kue mereka semakin ramai. Raka dan Mila merasa lega, seakan harapan mulai kembali menghampiri hidup mereka. Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Suatu hari, seorang pembeli datang dan tanpa alasan yang jelas, memfitnah kue mereka.
   "Kuenya basi! Bahannya busuk! Gimana sih, kok bisa dijual!" teriak orang itu dengan suara lantang, membuat suasana yang tadinya damai berubah menjadi kacau.
Kabar buruk itu dengan cepat menyebar di antara para pembeli. Mereka yang awalnya setia membeli, tiba-tiba berubah sikap. Satu per satu pembeli mulai mencaci maki Raka dan Mila, menuduh mereka menjual makanan yang tidak layak. Situasi semakin memanas ketika salah satu pembeli mulai mendorong gerobak mereka dengan kasar. "Kalian menipu kami!" teriaknya. Gerobak pun terbalik, dan semua kue yang dijajakan tumpah ke tanah, hancur berantakan. Raka dan Mila hanya bisa terpaku, melihat hasil kerja keras mereka dirusak begitu saja.
Dengan hati yang hancur, mereka berdua pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, air mata Mila tak lagi terbendung.
   "Kenapa kita selalu sial, Kak?" tanyanya dengan suara bergetar.
Raka, yang juga merasa putus asa, hanya bisa memeluk adiknya. "Aku juga nggak tahu, Mil... tapi kita harus kuat. Ini pasti ada jalannya," jawab Raka, meskipun dalam hatinya ia juga dipenuhi rasa marah dan kecewa.
Konflik antara fitnah yang tak berdasar dan usaha mereka yang hancur begitu saja membuat Raka dan Mila merasa dunia seakan tidak adil. Namun, dalam diam, Raka bertekad untuk bangkit lagi, demi adiknya, demi hidup mereka yang harus terus berjalan.
Mila bertanya "Kenapa ya kak orang berbuat seperti itu kepada kita."
   "Tidak apa-apa, Dik. Sabar, ya?" nasihat Raka.
   "Tapi Kak, kita tidak selayaknya dilakukan seperti itu." jawab Mila.
   "lya Dik, Kakak tahu, tapi kita tidak boleh nyerah hanya karena itu, kita harus tetap berusaha jualan lagi ya,"! kata Raka.
   "Iya kak!" jawab Mila semangat.
   Menjelang hari ulang tahun Mila, Mila meminta es krim dan kue kepada kakanya.
   "Kak, Mila kurang 10 hari lagi ulang tahun, kakak ingat tidak?" tanya Mila meringis.
   "lya Mila, Kakak ingat kok." jawab Raka.
   "Aku ingin dibelikan kakak kue dan es krim, tapi.. itu tidak mungkin, ya?" kata Mila.
   "Kakak pasti usahakan, tapi Kakak belum punya uang. Doakan semoga dagangan Kakak ramai, ya?" jawab Raka. meski dalam hatinya, ia merasa sedikit cemas memikirkan caranya merayakan hari spesial adiknya.
   "Terima kasih, Kak." jawab Mila tersenyum dengan mata berbinar.
                     ***
   Hari silih berganti, Raka bekerja lebih keras dari biasanya. Ia banting tulang, berkeliling menjajakan kuenya dengan semangat yang tak pernah padam. Namun, nasib seolah tidak berpihak. Selama berkeliling, tak ada satu pun pembeli yang menghampirinya. Rasa putus asa sempat menghampiri, namun Raka tak mau menyerah. Dengan tekad kuat, ia memutuskan untuk kembali berjualan di depan taman bermain, berharap anak-anak yang bermain di sana akan tertarik membeli. Setelah beberapa saat menunggu, anak-anak mulai datang menghampiri gerobaknya. Satu per satu, mereka membeli kuenya. Senyum Raka perlahan muncul saat mendengar beberapa dari mereka memuji rasa kue buatannya.
   "Wah, ternyata kue buatanmu enak, Kak!" seru seorang anak kecil dengan wajah ceria. Raka tersenyum meski hanya seorang anak kecil yang membeli dagangan miliknya.
Tak lama setelah itu, anak kecil yang sama kembali lagi, kali ini dengan membawa beberapa temannya.
   "Aku mau beli lagi, Kak! Teman-temanku juga mau!" katanya dengan riang. Raka pun tersenyum lebih lebar, merasa lega dan bahagia melihat dagangannya laris manis.
Dalam hati, Raka berbisik, "Mila, Kakak akan pastikan ulang tahunmu nanti jadi hari yang istimewa."
   Setelah kejadian tersebut, dagangan milik Raka makin hari makin ramai dan uangnya Raka sudah kekumpul untuk memenuhi permintaan adiknya membeli kue dan es krim. Kerja keras Raka tidak sia - sia untuk menghidupi adiknya. Raka sangat bersyukur kepada Tuhan telah diberi kesabaran. Selang beberapa waktu, Raka akhirnya mulai sukses. Tak hanya kue dan es krim untuk adiknya, ia juga mempunyai toko kue kecil yang bernama " Kakak Adik Bakery" dan ia melanjutkan sekolahnya dengan hasil kerja kerasnya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H