Dalam opini berjudul Widjojo "cum suis" (Kompas, 14/03/12), Nono Makarim menyaji kenangan akan sosok dan peran keekonomian Prof. Widjojo Nitisastro dalam konstelasi politik rezim Orde Baru. Yang menarik dalam kesimpulannya, tersingkirnya kelompok teknokrat yang terkenal dengan adagium "Mafia Berkeley" ini adalah disebab berubahnya selera Soeharto, yang terlalu terpukau pada dongeng-dongeng revolusi strategi versi Habibie, tentang lompatan visi dari agraris ke teknologi tinggi. Yang kemudian dalam disertasi Rizal Malarangeng (Mendobrak Sentralisme Ekonomi Indonesia 1986-1992, 2008: 74), selera tersebut berubah karena (kebetulan juga) ada "rezeki minyak", sehingga kelompok Hatta, eksponen yang kerap disebut kelompok empat, yang lebih menitikberatkan pada pemerataan ekonomi, memenangi pertarungan wacana kebijakan.
Lebih lanjut Nono Makarim, bahwa tersingkirnya Widjojo Cs menandai bangkitnya populisme dan pribumisme. Lebih intimnya negara dalam intervensi ekonomi, yang oleh Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo, adalah kemestian yang seadanya begitu. Untuk membalas luka panjang kemelaratan kaum pribumi, perlu adanya fasilitas istimewa. Maka jadi teringat pada analisis S.H. Alatas dalam bukunya "Mitos Pribumi Malas (1988)", yang menolak stereotipe dan stigmatisasi serampangan produk kolonial. Bahwa pribumi tidaklah malas, tidak malas. Namun apa iya? Barangkali penulis dan pembaca status ini perlu introspeksi dan merenung mendalam akan kiprah kemanusiaan manusia Indonesia hari ini. Termasuk berapa banyak waktu yang kita habiskan untuk ber-blog ria, termasuk waktu yang terbuang untuk menulis curhatan ini. Dan barangkali karena demikian pula, kegagalan populisme dan pribumisme ekonomi beberapa dasawarsa lalu, adalah cerminan semata dari potret ketidakmampuan meningkatkan kualitas diri, kemudian sibuk mencari alibi.
Maka demikian, di pagi yang syahdu ini -walau terlambat- saya mengucap duka cita mendalam untuk kepergian "sang maestro". Selamat jalan Prof. Widjojo Nitisastro, semoga amal ibadah diterima di sisi-Nya. Pikiran-pikiranmu niscaya menjadi pemantik dialektika, masa kini dan di hari-hari mendatang. Dan seperti pesanmu selalu, kecendekiaan harus dipupuk selalu, Indonesia harus dibangun dengan akal sehat, akan terus menjadi diskursus keindonesiaan modern. Biarlah kemudian generasi dan sejarah yang membuktikan, bagaimana laik dan idealnya Indonesia ini ditatar. Selamat jalan profesor.
Erdin Arampihi
Yunifco, Jaksel, 15/3/12
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H