Bangsa Indonesia berdemokrasi. Arah kebijakan bangsa yang besar ini tiap 5 tahun sekali akan ditentukan nasibnya. Pemilihan langsung bersifat jujur, adil dan rahasia dipilih menjadi metode yang dirasa paling bisa mewakili aspirasi dari rakyat negeri khatulistiwa ini.Â
Terakhir, perhelatan akbar ini digelar 9 Juli 2014 yang menghadirkan persaingan cukup sengit dengan perolah suara 53.15% melawan 46.85%. Tahun ini, duel sengit ini pun kembali terulang antara Petahana Joko Widodo dan Sang Jendral Prabowo Subianto.
Beberapa jam saja setelah dilangsungkannya pesta demokrasi ini, muncul banyak quick count yang memenangkan salah satu calon. Ada dua paradigma yang patut kita lihat dari fenomena perhitungan cepat ini. Satu sisi, ini menjadi hal yang ditunggu rakyat akan antusias melihat hasil demokrasi 5 tahunan.Â
Menerka -- nerka siapa yang akan memimpin Indonesia kelak menjadi kenikmatan tersendiri ditengah ketidakpastian. Seperti bermain roller coaster yang kadang berada di atas kadang di bawah kadang juga berputar.Â
Dari sudut pandang lain, hadirnya quick count menjadi sebuah atmosfer panas bagi rakyat. Ketika salah satu calon dimenangkan oleh perhitungan cepat ini, barisan pendukung tidak hanya mensyukurinya tapi banyak yang tidak segan -- segan untuk menghina barisan oposisinya.Â
Tanpa memikirkan bahwa Indonesia ini dibangun dengan fundamental  bahwa perbedaan adalah dasar pemersatu bangsa, banyak sekali lahir para hakim dadakan yang seakan -- akan lebih baik dari para pasangan calon yang kita sepakati adalah putera -- putera terbaik bangsa.Â
Arti nilai persahabatan harus kalah dengan perbedaan pilihan. Arti nilai kedekatan, dipaksa jauh karena berbeda pandangan. Indonesia sedang mengalami tsunami politik.
Berbicara tentang presiden bangsa, dari kedua calon yang ada, telah disepakati oleh rakyat bahwa mereka adalah putra terbaik bangsa. Mereka mau mengorbankan waktu untuk mengurusi kita yang masih bingung dengan pertanyaan habis lulus kerja di mana?Â
Mereka mau menyisihkan fikiran untuk menjawab pertanyaan kita tentang apakah besok beras masih ada? Lebih dalamnya mereka mau menjadi tempat salah untuk setiap keresahan yang ada di masyarakat.Â
Satu pertanyaan besar yang mungkin tetap ada ketika pemenang kontestasi politik ini sudah diumumkan. Yaitu masihkah Pancasila bernadakan Bhineka Tunggal Ika? Narasi yang terbangun entah dari 01 ataupun 02 adalah narasi ketakuan, bukan narasi pembangunan.Â