Dulu aku sering menanyakan kepada Bapak dan Ibuku tentang semua hal. Menunjuk sapi dan berkata, “itu apa Pak?”, menunjuk kambing dan berkata, “itu apa Buk?”
Di saat yang lain, pertanyaanku akan begitu beruntun.
“Pak itu namanya apa?” Kataku, menunjuk motor yang di parkir di pinggir sawah.
“Motor Le(sebutan untuk anak laki-laki jawa).” Sahut Bapakku ringan.
“Motor apa Pak?” aku mendekat ke Bapak dan jongkok di sampingnya.
“Motor Kalong.” Dengan sekali melihat motor yang kutunjuk, dan melanjutkan nggapit(mengapit bambu yang sudah dibentuk tipis dan memanjang dengan bambu lain yang serupa).
“Motornya kok bisa jalan to Pak?” Tanyaku menimpali.
Bapakku masih saja nggapit bambu-bambu yang dipakai untuk kandang ayam itu dan hanya menjawab spontan, “Ya soale ada mesinnya, ada rodanya, ada bengsinnya(bensin/premium)”.
“Loh Pak, kok banyak banget to?”
“Ya iya to.”
“Lha bengsin itu apalagi to Pak?”
“Nha, makannya belajar yang rajin kalau udah gedhe.”
Pada dasarnya, aku bertanya ini-itu tanpa rasa bersalah. Karena aku tidak tahu dan aku ingin tahu.
Terlalu banyak hal yang dulu aku tanyakan, dan memang aku tak sanggup menghafalnya, tapi lingkungan menyadarkan. Ia berkata, “Nak, yang kamu tanyakan dulu itu menjadi dasar pemikiranmu saat ini.”
Aku bertanya dalam hati, “benarkah?”
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H