Mohon tunggu...
Gede Sutmasa
Gede Sutmasa Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar, aktivis koperasi

Belajar dan berbagi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Harmoni dan Ketegasan Penyelenggara Negara

5 Maret 2011   04:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:03 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari kemarin ada beberapa tulisan di kompas-cetak.com yang sangat menarik ketika kita berbicara keindonesiaan yang ber-Pancasila, ber-Bhinneka Tunggal Ika dikaitkan dengan wajah kekerasan yang belakangan, terutama sejak reformasi, semakin menyesakkan dada dan sudah barang tentu menngkhianati nilai-nilai kePancasilaan dan kebhinnekatunggalikaan itu. Tulisan yang saya maksud adalah "Mendekati Tuhan dalam Diri" dari Raka Santeri, "Memenangkan Cinta" dari Dony Kleden, dan berita "Ancaman Pada Negara-Bangsa".

Rumah kita adalah Indonesia, jati diri, roh dan semangatnya telah mampu dibawa ke permukaan oleh para pendiri negara-bangsa ini. Kita adalah manusia-manusia Indonesia, bukan yang lainnya, yang jati dirinya telah jelas: Pancasila, bhinneka tunggal ika. Atas jati diri itu, maka manusia Indonesia adalah manusia yang rendah hati, mengharhgai dan memuliakan orang lain sebagai sama-sama makhluk ciptaan Tuhan, santun, berkeadaban. Harmoni hidup dan kehidupan sebagai anggota keluarga besar negara-bangsa Indonesia adalah tatanan yang senantiasa mesti dipertahankan, dikembangkan, dan dijaga untuk mewujudkan kesejahteraan bersama. Artinya, tidak ada satu orang atau kelompok pun yang boleh mekaksakan pikiran, kepentingan dan kemauan diri atau kelompoknya kepada orang lain.

Kita sangat prihatin oleh ragam kekerasan yang mengoyak keindonesiaan kita. Kita menyebut diri sebagai orang-orang yang percaya dan meyakini Tuhan dengan segala kebaikan dan kuasaNYA, termasuk keyakinan bahwa manusia adalah ciptaanNYA. Namun yang terjadi kemudian adalah dengan menyebut kesucian dan keagungan namaNYA sekelompok dari kita menyakiti, mencaci, membunuh saudara kita yang lain, merusak harta benda mereka yang menjadi hak mereka. Semua itu dilakukan dengan "keyakinan" membela agama, membela Tuhan. Sungguh ironis. Kesempurnaan Tuhan, keluruhan ayat-ayatNYA hanya disederhanakan oleh "kebenaran" kemanusiaan yang terbatas. Tuhan yang Mahakuasa, Mahadahsyat dibela hanya oleh kekuatan manusia yang terbatas dengan menghabisi makhluk ciptaanNYA sendiri. Kepentingan akan kehebatan hidup duniawi yang terbatas menjadi alasan untuk pembelaan terhadapNYA. Dan keterbatasan kemanusiaan kita ini diakui dengan sangat mutlak di hadapan Tuhan, tetapi dengan menyakiti, merusak dan bahkan membunuh  sama saudara kita, sementara kelompok itu serta merta menuhankan kebenaran kemanusiaannya yang terbatas.

Berger, yang dikutip Dony Kleden mengatakan agama hendaknya membentuk kognisi masyarakat dan menjadi pedoman yang memberi arah bagi pola tingkah laku dan corak sosial. Agama mesti memijakkan dirinya pada realitas sosial, pada realitas untuk menggapai kehidupan yang akan datang, sehingga agama tidak mungkingkin melepaskan dari dari tanggung jawab sosial. Tanggung jawab sosial agama inilah yang menuntut kebermaknaan agama bagi kehidupan manusia, kehidupan setiap orang. Ini tanggung jawab setiap pemeluk agama mana pun.

Terkait perayaan NYEPI oleh saudara-saudara kita umat Hindu, Raka Santeri mengatakan "Mendekatkan diri kepada tuhan yang menjadi ujung pendakian spiritual dalam perayaan Nyepi adalah merayakan "sepi" itu sendiri.  Sepi dari hawa nafsu, sepi dari keserakahan dan kekerasan....". Lalu "Dalam ruang keheningan yang berwatak inklusif dan bersifat semesta inilah tumbuh semboyan vasudewa kutum bakham (semua kita bersaudara).

Benar, kita semua manusia, di mana pun,  yang sama-sama adalah ciptaanNYA, bersaudara. Bagi kita, persaudaraan kita itu sangat jelas, persaudaraan atas dasar keindonesiaan. Kita boleh berbeda agama, berlainan keyakinan, beragam suku, tapi keindonesiaan kita menjadikan kita sebagai saudara yang sama, yang oleh karena itu harus saling menghargai, menghormati, memuliakan satu terhadap yang lain, karena Dia sendiri telah melakukan itu semua dengan keutuhan dan ketulusan kasih dan sayangNYA dan dengan cuma-cuma.

Kekerasan terhadap dan konflik serta keruwetan antar sesama saudara kita, ternyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bersumber pula dari tabiat dan perilaku para pejabat negara ini, yang seharusnya menyelenggarakan kebaikan bagi semua orang. Politik yang dijalankan telah meninggalkan moralitas hakiki politik itu sendiri yaitu menyelenggarakan kehidupan bersama atas dasar nilai-nilai kemanusiaan untuk kesejahteraan bersama. Yang terjadi adalah perebutan kekuasaan dan kemudian mempertahankan kekuasaan itu dalam bentuk pelaksanaan kekuasaan yang mengabdi pada kepentingan diri, kepentingan kelompok, dan sebagainya. Ada harga diri pribadi di sana, demikian juga harga diri kelompok. Harga diri yang seharusnya diletakkan di atas dasar pengabdian -- sehingga berkonsekuensi tanpa penghargaan -- justru kemudian menjadi harga diri kekuasaan penguasa yang cenderung dipertahankan habis-habisan agar kekuasaan itu tidak luntur dan tak bergigi.

Rakyat, terutama yang minoritas, yang lemah, yang tidak berdaya, kemudian terbiarkan. Hak-hak dasar mereka terampas, hak-hak sipil mereka diinjak-injak. Sangat ironis bagi sebuah keluarga besar dengan identas keindonesaiaan. Demi harga diri itu, demi reputasi dan kekuasaan, berbagai pertimbangan menjadi dalih untuk tidak melakukan apa-apa dan membiarkan rakyat terzolimi. Ketidaktegasan, ketidak jelasan dan standar  ganda yang diterapkan oleh para penyelenggara negara menyuburkan tindak kekerasan yang lebih masif dan sistematis. Kecaman atas berbagai aksi kekerasan oleh penyelenggara negara, yang kemudian diikuti dengan aneka rapat mengatasi dan menyelesaikan tindak kekerasan itu, akhirnya hanya wacana dan formalitas karena tindakan nyata yang tegas jelas tidak ada. Lagi-lagi semua lantaran  harga diri, lantaran penyelematan kekuasaan, kepentingan diri dan kelompok.

Itu terjadi karena wajah penyelenggara negara kita adalah wajah bertopeng, yang sekaligus bisa memerankan diri sebagai tokoh yang sangat religius di sisi lain juga sebagai machiavelian. Politik dianggap sebagai bagian yang terpisah dari nilai-nilai  dan keutamaan-keutamaan agama, tidak terdeksi oleh Tuhan sanga Mahacinta."Bagi saya, Tuhan dan kebenaran cinta merupakan istilah yang dapat digantikan satu dengan yang lain. Jika ada yang mengatakan bahwa Tuhan adalah Tuhan yang tidak cinta atau tidak benar atau yang menyiksa, saya tidak akan sudi mengabdi kepadaNYA. Oleh sebab itu, dalam politik, kita juga harus membangun kerajaan surgawi", demikian Mahatma Gandhi dalam sebuah ceramah politiknya sebagaimana dikutip Dony Kleden.

Gerakan mereka yang sadar keindonesiaan, yang menghendaki jati diri keindonesiaan sungguh-sungguh hadir di pertiwi tercinta ini sudah cukup banyak, baik dari kalangan pemikir, tokoh agama dan lebih-lebih rakyat sendiri, namun kemudian "tak berdaya" oleh keberingasan sekelompok orang mengatasnamakan agama dan mayoritas. Diperlukan tindakan jelas, tegas dan konsisten dari penyelenggara negara. Kalau tidak kita memerlukan revolusi....ya revolusi, karena sangat riskan mempertaruhkan negara-bangsa yang besar dengan keluruhan jati dirinya pada sekelompok orang lemah yang rakus, congkak dan bebal.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun