Mohon tunggu...
Eratri RizkiHermaliah
Eratri RizkiHermaliah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menulis untuk meninggalkan jejak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Matahari Terbenam

1 Desember 2023   22:29 Diperbarui: 1 Desember 2023   23:13 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hamparan pasir putih lembut membuai kakiku, sudah menjadi kebiasaanku menikmati langit sore di pantai yang sepi ini, sendiri menatap langit jingga, melepas terbenamnya matahari. Sore ini sangat indah, sama seperti biasanya. Cahaya yang perlahan mulai gelap, seakan memang tak pernah terang di hatiku. Kenangan itu, sungguh tak kuasa kuhentikan, tentang ayahku, pahlawan terbaik yang pernah ada.

Hujan yang entah dari mana asalnya, tanpa tanda tiba-tiba turun tak berjeda. Aku berlari ke depan, memastikan Ayahku sudah pulang atau belum. Sampai di teras, aku terhenti, mengusap wajahku yang terkena tampias, lalu memeriksa sekeliling. Pandangan mataku tertuju ke ujung jalan, lalu tanpa pikir panjang aku sudah berada di antara ribuan air hujan, berlari sekencang-kecangnya, menuju suatu tempat dimana ada sebuah pohon besar dan rindang, nampak seseorang di bawahnya dengan sebuah motor dan tas besar, tangannya sibuk menutupi kepala yang sudah terlanjur basah, sambil sesekali mengusap wajah tuanya yang terkena tampias air.

"Ayaahhh??!!" teriakku, Ayahku menoleh, kulihat keningnya mengernyit, siap memarahiku "Kenapa kamu main hujan-hujanan??!!" dengan wajah sok marah aku lantas menjawab "Kenapa Ayah juga main hujan-hujanan?!". Lalu aku tertawa dan ayahku hanya tersenyum simpul. Aku berdiri disebelah Ayah, tangan yang sebelumnya berada di atas kepalanya kemudian berpindah tepat di atas kepalaku, aku pun menoleh, seketika kulihat pakaian ayah yang basa kuyup, kulitnya yang memang sudah keriput, menjadi lebih keriput kerena terlalu lama terkena hujan. "Kenapa Ayah berhenti disini?" tanpa membuka mulut, Ayah hanya mengarahkan telunjuknya ke ban motor tuanya yang bocor.

Hujan sedikit agak reda, aku dan Ayah berjalan bersisihan menyusuri jalan setapak menuju rumah kami, dengan ayah yang menuntun motornya dan aku yang membawa tas besarnya, aku menyukai suasana ini, udara begitu segar setelah hujan, suara titik titik air yang jatuh tidak beraturan, serta suara serangga yang saling bersahutan. Perjalanan singkat ini begitu menyenangkan, sesekali diselingi aku yang bercerita tentang kegiatanku di sekolah, tapi tidakku habiskan semua, masih kusimpan untuk nanti sore, nanti malam, besok pagi atau kapan pun saat aku bersama Ayah. Bercerita dengan Ayah selalu menyenangkan  Meski kadang aku kesal jika Ayah hanya mendengarkan tanpa menjawab apapun. Semua hal kuceritakan pada Ayah, dan Ayah selalu baik-baik saja menanggapinya, ia pernah bilang "Masa remajamu begitu berharga, kamu harus banyak memiliki pengalaman yang menyenangkan, dan lakukan semua hal yang kamu senangi". Begitu mendengarnya aku begitu senang hingga banyak memikirkan hal-hal apa saja yang aku senangi, namun, ada satu yang ternyata sangat dilarang oleh ayah. 

Sampai dirumah, Ayah membongkar isi tas besarnya, aku yang masih basa kuyup pun memperhatikan, dengan ocehan yang masih tidak berhenti dan sibuk memainkan barang-barang Ayah jika ada yang menarik perhatianku, terakhir yang ada di tanganku adalah Roll cat , aku menggelinding dan memutarkannya sambil pura-pura sedang mengecat rumahku. Sampai ke bungkusan terakhir, ku lihat itu seperti kotak, aku mengabaikan roll di tanganku, aku menunggu Ayah membukanya namun telihat jelas kalau ayah sengaja berlama-lama membukanya. Bahkan sesekali melirikku yang sudah menunggu dari tadi , sambil tertawa, Ayah membuka plastik luarnya, lalu bisa ku lihat itu adalah kotak sepatu, aku semakin mendekat, dengan wajah yang begitu penasaran. Ayah menyerahkan kotak itu padaku "Untukmu, ayo dibuka" Ucap ayah, dengan cepat aku buka tutupnya, sepatu olahraga berwarna biru ke hijau-hujauan, dengan list putih dan tali hitam. Aku menatap Ayah dengan wajah yang seakan bilang Beneran untukku ? , ayah hanya menggangguk. Lantas aku memeluk Ayah sebagai ucapan terimakasihku. Terasa hangat, meski kami masih basa kuyup karena hujan tadi.

Malamnya, suasana begitu tenang, langit nampak indah tanpa awan dengan taburan bintang dan bulan yang menggantung. Ayah duduk di teras dengan segelas kopi yang mulai mendingin. . Aku yang sejak siang tadi gelisah, malam ini sudah bertekad kuat untuk mengatakannya kepada Ayah, pelan-pelan aku melangkah keluar, menyapa Ayah yang sedang duduk di temani suara serangga malam.  Aku duduk di sebelah Ayah, hanya diam dan sesekali bersenandung kecil, sambil memikirkan kalimat yang cocok untuk memulai percakapan. Aku yang hanya diam ini, membuat Ayah tahu kalau ada yang ingin ku bicarakan, dan ayah memang sudah tahu mengenai hal itu "Apapun alasanmu, Ayah tetap tidak akan mengizinkan!!" suara Ayah pelan tapi begitu tegas. Aku menoleh "Aku bisa membagi waktu Yah, sekolah ku tidak akan tertinggal, hari liburku juga akan tetap dirumah, bermain seperti biasanya, menemani Ayah, dan tidak akan ada yang hal yang tertinggal" suara ku yang lebih terdengar memaksa ini tertahan demi melihat wajah Ayah yang berubah menjadi sedih "Apa ayah belum menjadi Ayah yang baik untukmu? Apa karena Ayah hanya seoarang kuli bangunan, sehingga menjadi orang yang tidak berguna di keluarga ini ? sampai ibumu juga bekerja keras dan akhirnya meninggalkan ayah sendiri disini, dan sekarang kamu juga ingin bekerja? Seperti ibumu yang setelah ayah izinkan malah meninggalkan Ayah dan kamu yang saat itu masih begitu kecil untuk mengerti?" dengan suara yang parau Ayah mengatakan semuanya. Aku terdiam, dulu ayah hanya menjawab pertanyaan ini dengan alasan takut mengganggu sekolahku, malam ini pertama kalinya di hidupku aku mengetahui bahwa Ibuku tidak meninggal, Ia pergi, meninggalkan aku dan Ayah. Lama aku berpikir, ternyata itu kenyataan yang baru ku ketahui malam ini, tanpa sadar Ayah sudah masuk ke dalam, meninggalkan aku yang benar-benar terkejut. Bisa kulihat Ayah juga saat terpaksa mengatakan hal itu, sudah bertahun-tahun lamanya kejadian itu di pendam sendiri oleh Ayah.

Hari minggu Ayah mengajakku pergi ke kebun, Ayah begitu suka tanaman, dengan peralatan yang sudah disiapkan sejak pagi, kami menghabiskan waktu seharian di kebun. Besok senin, Ayah sudah harus berangkat kerja lagi , semalam sudah berkemas baju-baju dan peralatan kerjanya untuk seminggu, tas besar Ayah  sebenarnya sudah tidak muat lagi, bisa di lihat dari jahitannya yang hampir putus. Melihat itu, aku sangat kepikiran, betapa sulitnya Ayah jika harus bekerja sendirian. Hingga, aku akan tetap menguatkan tekadku, aku akan bekerja, aku tidak ingin lagi membuat susah Ayah, apalagi membuat Ayah mencari pekerjaan tambahan hanya untuk keperluanku, jadi aku diam-diam meminta bantuan temanku. Aku pun diterima di sebuah restoran tempat temanku bekerja. Meski awalnya sulit karena aku banyak permintaan, seperti tidak bekerja di hari libur, dan lainnya. Bukan kenapa, hal itu agar tidak menimbulkan kecurigaan Ayah kepadaku.

Minggu pertama aku bekerja, semuanya begitu lancar, tidak ada masalah di sekolah, tempat kerjaku, dan dirumah. Dan aku yakin sekali ayah juga tidak akan tahu. Sampai ke minggu ke dua, aku sunggu teledor sekali, karena kelelahan berkerja aku sampai tidak memiliki waktu untuk membuat tugas . Juga beberapa kali aku tertidur di kelas, sampai-sampai guruku memberi tugas dua kali lipat banyakknya. Aku jelas-jelas panik, besok hari sabtu, aku nyaris tidak pernah membuat PR di hari libur. Sampai di hari sabtu, aku sungguh-sungguh lupa tentang Ayah, aku mengurung diri dikamar, dengan tumpukan tugas yang tak kunjung selesai.

"Assalamualaikum, Nina? Kamu dirumah?' aku kaget bukan main, itu Ayah. Kapan pulang ? aku sangat sedih, bagaimana aku lupa menunggu dan menyambut ayah yang pulang. Aku keluar dari kamar. "Waalaikumsalam yah, maaf Nina tertidur.. Apa Ayah sudah lama sampai rumah?" aku sunggu merasa bersalah, pikiranku kacau, apalagi tumpukan kertas-kertas dikamarku yang belum sempat aku selesaikan. Ketika Ayah membereskan tasnya, aku pamit ke kamar, bilang kalau aku sudah mengantuk dan ingin segera tidur. "baiklah, tidurlah, kamu pasti capek dari sekolahmu" demi melihat senyum tulus Ayah aku cepat cepat berlari ke kamar, hatiku begitu sakit mendengarnya aku menutup kepalaku dengan bantal, lantas air mataku dengan hangat mengalir. Aku kembali menyelesaikan tugasku sampai lupa waktu, disii lain Ayah hanya menghabiskan waktu dengan menonton TV sendirian. Ketika aku keluar kamar, beberapa kali Ayah mengajakku mengobrol,"Nina, apakah sudah makan siang?" atau "Nina, kamu tidak jalan-jalan dengan temanmu minggu ini?" dan juga "Nina, Ayah membeli sesuatu  kamu mau tidak?", namun tidak begitu kuhiraukan, aku hanya menjawab singkat sepeti "ohh" , "sudah", "tidak""baiklah Yah" dan "aku juga tidak tahu yah" Ayah juga bercerita tentang pekerjaannya yang begitu melelahkan, dan tanpa aku sadari itulah pertama kalinya ayah menceritakan kegiatannya padaku dan aku yang tidak fokus mendengarkn pun hanya bilang "begitu ya yah" lalu pamit masuk lagi ke kamar. Ayah memperhatikanku sampai aku menutup pintu kamar. Lalu tanpa aku ketahui Ayah mengambil sebuah minyak urut dan mengurut kakinya sendiri.. Aku  berusaha menghabiskan waktu untuk menyelesaikan tugas ini agar bisa kembali menemani Ayah segera. Sampai aku lupa waktu, dan terlalu lelah untuk melakukan hal lain. Dan tanpa aku sadari aku telah kehilangan sebuah kesempatan yang berharga dalam hidupku.

Saatnya Ayah kembali berangkat kerja, aku tidak sempat melepas Ayah yang hendak pergi kerja, aku bangun kesiangan, yang ku temukan hanya segelas susu yang dibuatkan Ayah untukku, dan uang saku, saat mengambil uang itu, aku kaget jumlahnya berkali lipat dari biasanya, mungkin Ayah pikir aku butuh uang lebih, aku memutuskan menyimpan uang itu dan akan ku kembalikan pada Ayah minggu depan. Minggu ini aku berusaha mengatur waktuku lebih baik, aku harus bisa bertanggungjawab lebih. Hingga minggu ini aku menjadi lebih santai, tugasku sedikit demi sedikit mulai terselesaikan, sampai di hari sabtu berikutnya, waktunya Ayah pulang. Aku sudah menunggu dari siang, dengan begitu santainya aku duduk di teras hingga hari sudah mulai gelap, ayah belum pulang. Juga besoknya belum juga pulang, aku yang mulai merasa khawatri pun memutuskan untuk menelpon Ayah, namun itulah pertama kalinya handphone Ayah mati, kupikir ayah mungkin tidak ingin diganggu pekerjaannya, tapi tetap saja aku khawatir, Ayah tidak mengabari dulu kalau tidak pulang minggu ini. Aku berpikir kalau ayah memiliki pekerjaan tambahan seperti biasanya, baiklah pikirku, dengan adanya pekerjaan di restoran serta minggu ini sedang dilaksanakan ulangan membuat seminggu ini tidak akan terasa lama. Aku menjalani hari-hari dengan ceria apalagi hasil ulanganku yang bagus semua, aku tidak sabar menunggu kepulangan Ayah dan menunjukan hasil ulanganku, dan menyiapkan hal-hal baru yang akan ku tunjukan pada Ayah, semuanya tanpa kecuali.

Hari sabtu ini cerah, masih begitu siang , untuk menunggu Ayah, tapi aku tidak sabar. Aku duduk di teras dengan sesekali bermain handphone, mendengarkan lagu kesukaannku. Bosan menunggu diluar, aku pindah ke kamar, berbaring dengan kepala ke arah jendela. Tak sadar akupun tertidur. Lalu ketika aku terbangun , kulihat langit sudah mulai gelap, aku berlari keluar, melihat sekeliling, lantas masuk lagi ke dalam, ke belakang rumah, lalu berlari lagi ke depan sampai ujung jalan, mungkin saja ban motor ayah bocor lagi, benar-benar memastikan Ayah sudah pulang atau belum, tidak ada, Ayah belum jua pulang. Ku telpon Ayah, namun handphone-nya masih mati, kutelpon berkali-kali, namun tetap saja, tanpa sadar air mataku tiba-tiba menetes.  Kuusap air mataku, aku berusaha tenang, langkah terakhir, aku menelpon teman Ayah, om fajar. Yang tanpa Ayah ketahui  selama ini aku sering bertanya kabar ayah padanya, apakah Ayah sakit atau mungkin tidak sempat makan..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun