Mohon tunggu...
Eraslin
Eraslin Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

MEA & distorsi SDM Indonesia

7 Februari 2016   02:35 Diperbarui: 7 Februari 2016   02:57 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) telah dimulai sejak akhir desember 2015 silam, dengan dimulainya era MEA maka sejak itulah dimulainya persaingan bebas hambatan terhadap negara-negara ASEAN. Konsep masyarakat ekonomi ASEAN digagas untuk mewujudkan cita-cita kawasan yang memiliki integritas ekonomi kuat yang dibentuk negara-negara Asia tenggara sebagai langkah antisipasi terhadap persaingan global. Langkah ini dilatar belakangi oleh persiapan menghadapi globalisasi ekonomi dan perdagangan melalui ASEAN free Trade Area(AFTA) serta menghadapi persaingan global terutama dari cina dan india.

Saat ini berdasarkan laporan bank dunia dengan menggunakan paritas daya beli dolar internasional ekonomi ASEAN menyumbang 6% terhadap PDB global. Hal ini menjadikan ASEAN sebagai blok ke 5 terbesar dunia setelah NAFTA 20%, EU 17%, cina 16% dan india 7%. Inilah yang mendorong ambisi negara-negara ASEAN membentuk MEA karena diprediksi Kawasan Asia akan menjadi kekuatan ekonomi baru yang disokong oleh tingkok dan india. Dalam kesepakatan tersebut terdapat 5 hal yang tidak dapat dibatasi peredarannya diseluruh Negara ASEAN termaksud Indonesia yaitu 

  1. Arus barang
  2. Arus jasa
  3. Arus modal
  4. Arus investasi, dan
  5. Arus tenaga kerja terlatih

Salah satu kunci untuk bersaing pada MEA adalah dengan meningkatkan daya saing nasional pada tingkat mikro dan makro. Pada tingkat mikro peningkatan daya saing dapat dilakukan dengan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), kompetensi dan spesialisasi. Sedangkan pada level makro daya saing diartikan sebagai kemampuan suatu negara dalam menawarkan kondisi yang kondusif dan produktif untuk mengembangkan bisnis dan berinovasi.

Dalam situasi dimaksud yang menjadi taruhan adalah daya saing dari sisi produk maupun SDM, karena apabila tidak disiapkan secara matang maka bukan tidak mungkin negeri ini akan menjadi pasar dari produk asing dan masyarakat kita hanya akan menjadi penonton karena tidak mampu bersaing dengan tenaga asing yang lebih ahli. 

Dengan melihat data BPS pengangguran di Indonesia pada tahun 2015 pada periode agustus sebanyak 7,56 juta orang bertambah 320 ribu orang dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu 7,24 juta jiwa. Pada agustus 2015, tingkat pengangguran terbuka menurut pendidikan didominasi oleh sekolah menengah kejuruan (SMK) 12,65% disusul sekolah menengah atas (SMA) 10,32% Diploma 7,54%, sarjana 6,40%, SMP 6,22% dan SD kebawah 2, 74%. Dari data BPS selama setahun terakhir kenaikan penyerapan tenaga kerja terjadi terutama disektor konstruksi sebanyak 930 ribu orang (12,77%) sektor perdagangan sebanyak 850 ribu orang (3,42%) dan sektor keuangan 240 ribu orang (7,92%) penyerapan tenaga kerja hingga agustus 2015 masih didominasi oleh penduduk bekerja berpendidikan rendah yaitu SD kebawah 50,8 juta orang(44,27%) dan SMP 20,7 juta orang(18,03%)  sedangkan penduduk bekerja berpendidikan tinggi hanya sebanyak 12,6 juta orang, mencakup 3,1 juta diploma dan 9,5 juta sarjana.

Dari data tersebut menunjukan bahwa angka pengangguran semakin bertambah akibat dari rendahnya penyerapan tenaga kerja setiap tahun yang hanya menyerap dari beberapa sektor yaitu konstruksi, perdagangan dan keuangan saja. Tapi yang tak kalah menariknya adalah angka penyerapan tenaga kerja yang di dominasi oleh penduduk berpendidikan rendah tamatan SD kebawah, sehingga menimbulkan spekulasi penduduk berpendidikan tinggi tidak mampu bersaing dengan yang hanya berpendidikan rendah apalagi untuk bersaing dengan tenaga kerja asing terlatih.

Sehingga menyongsong pengimplementasian MEA yang dipandang prematur dan dipaksakan bagi indonesia banyak pihak yang mempertanyakan kesiapan SDM indonesia dalam menghadapi MEA, setelah kita berkaca dari dari data BPS Tersebut yang menunjukan angka pengangguran yang terus bertambah setiap tahunnya memberikan keraguan akan kemampuan masyarakat indonesia saat ini dalam menghadapi persaingan bebas dengan tenaga kerja asing terlatih. Dengan demikian diharapkan peran dari semua pihak, terutama dari perguruan tinggi dan lembaga pelatihan di indonesia sebagai lembaga pencetak tenaga kerja untuk meningkatkan kualitas setiap alumnusnya sehingga mampu bersaing dan mengungguli tenaga kerja asing agar tidak menjadi marjinal dinegri sendiri.

Wassalam...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun