Iseng membuka akun kompasiana, ternyata masih aktif. Haha, sudah berdebu tampaknya, maka akan saya isi dengan gerundelan saya dan teman-teman beberapa hari belakangan ini ...
Tersebutlah saya dan beberapa teman ngobrol-ngobrol wagu bab apresiasi film. Obrolan ini tercipta setelah seorang teman yang kecewa atas film yang ia tonton, lantas mengkritiknya habis-habisan atas dasar subjektivitas. Sikap seorang teman itu membuat kita tergerak untuk mendiskusikannya (baca: menggosipkannya), tentu saja dengan bahasa yang wagu dan asal jeplak. Saya sudah lupa apa saja cangkeman teman-teman saya yang wagu itu, namun yang pasti, kami bersepakat bahwa penonton hendaknya bisa memposisikan diri ketika bisa menonton film. Katakanlah menonton film dengan genre action. Paling tidak, tumbuhkanlah harapan dalam hati Anda untuk menyaksikan aksi-aksi heroik, intrik-intrik aksi yang menawan. Kalau toh pada akhirnya film itu tidak bisa menampung harapan Anda, ya kecewalah dengan porsi yang wajar. Karena menjadi tidak wajar jika Anda lantas mengkritik film yang membuat Anda kecewa itu dengan argumen subyektif.
Saya lantas teringat ketika film “sang penari” diputar. Film ini, diakui sendiri oleh sutradaranya, terinspirasi (bahkan merupakan wujud lain), dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, sebuah novel yang mempunyai tempat istimewa dalam jagat sastra Indonesia. Saya dan pacar saya yang berasal dari kampus sastra, tentu cukup bersemangat menonton film ini. Hanya saja, saya harus “rela membuang” dunia Ronggeng Dukuh Paruk ketika akan menonton filmnya. Karena saya tidak mau terjebak membanding-bangdingkan antara novel dan filmnya. Overall filmnya bagus, namun teman-teman kampus sastra saya banyak yang kecewa, karena filmnya kurang merepresentasikan novelnya. Oh men, ini film. Ada kaitannya dengan novel, jelas, tapi kedua hal tersebut sudah menjadi dua produk seni yang berbeda. Jika memang mau mengritik, kritiklah filmnya, dengan memakai logika film. Logika film? Apalagi itu? Itu istilah saya saja sih. Misalnya begini, Rambo hanya memakai satu pucuk senapan bisa mengalahkan sekompi pasukan dengan senjata komplit. Rambo selalu selamat kalau ditembak. Kalau pakai logika nyata (real), adegan itu jelas bullshit men, tai kebo men ... tapi ini film bung! Di film, kejadian itu logis, karena tema dan ideologi yang diusung memang menampilkan sosok seperti itu. Atau kalau mau lebih wangun lagi, kritiklah dengan ilmu-ilmu perfilman. Itu baru jempol.
Bukan berarti Anda tidak boleh mengritik, berpendapat, bolah-boleh saja, hanya saja, dunia ideal saya mengatakan bahwa hakikat karya seni (menurut saya film juga karya seni) adalah menarik. Misalnya seperti kalau kita melihat pameran lukisan yang bersifat random (tidak mewakili satu genre tertentu), maka secara naluri kita akan berlama-lama berada di depan lukisan yang kita anggap menarik. Bukan berarti yang tidak menarik itu jelek, bisa saja lebih bagus, hanya saja tidak menarik, karena menarik itu subyektif. Jika kita memposisikan diri kita menjadi “kritikus” ketika mengapresiasi karya seni, maka seyogyanya kita juga mempersiapkan diri dengan referensi, ilmu-ilmu, pengetahuan, terhadap obyek seni yang akan kita apresiasi. Tapi jika kita memang hendak berapresiasi, ya kalau pada akhirnya karya seni itu tidak menarik bagi kita, ya sudah. Kecewalah dengan wajar sesuai dengan porsi apresiator.
*kalau tulisan saya tidak menarik, gapapa memang wong juga awalnya berawal dari obrolan santai waton njeplak ... salam bahagia :v (21 feb 2014)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H