Ini dimungkinkan karena selama periode tersebut permasalahan sosiogeografis dan kependudukan relatif masih sederhana dan pemerintahan dikelola secara sentralisitik dan otoriter.
Namun, dalam tiga dekade terakhir, menjalankan fungsi RT/RW tidaklah mudah. Penyebabnya adalah peningkatan jumlah penduduk, percepatan mobilisasi, perubahan komposisi dan struktur penduduk.
Pada gilirannya semua itu meningkatkan kompleksitas permasalahan sosial seperti kriminalitas, konflik antarwarga dengan berbagai motif (ekonomi, politik, SARA).
Di sisi lain bergulirnya Reformasi serta era teknologi informasi menuntut RT/RW agar lebih terbuka, adaptif, aspiratif, dan gesit, tetapi tetap dalam rambu-rambu sosial dan hukum.
Kasus penusukan berujung kematian terhadap Jazuli, ketua RT Kota Bambu Utara (Jakarta Barat) akibat kekesalan warganya (17/6/2020); vonis 5 tahun penjara untuk Komaruddin, Ketua RT Kampung Kadu (Tangerang) akibat tindakannya memberikan hukuman sosial kepada pelanggar susila (12/4/2018); vonis 4 bulan kurungan untuk Purbo, Ketua RT Sewakul (Semarang) akibat keputusannya menolak pemakaman jenazah covid di wilayahnya karena tuntutan warga (27/7/2020) adalah sedikit contoh bahwa memikul tanggung jawab RT tidaklah mudah. Dan untuk itu, tidak ada pedoman serta imbalan yang jelas.
Akibatnya, jabatan ini ramai-ramai dihindari warga. Setiap suksesi RT/RW tiba, orang mencari-cari cara agar tidak terpilih sebagai ketua RT/RW yang biasanya melalui mekanisme “pemaksaan sosial”.
Problematika ini nyata, massif, dan kronis. Ironisnya hal ini kurang diperhatikan pemerintah. Hanya beberapa pemda seperti DKI Jakarta dan Kota Surabaya yang memperlakukan RT/RW secara serius, misalnya dengan profesionalisasi RT/RW.
Namun, umumnya lembaga ini secara sosial kurang diperhatikan dan cenderung dilecehkan. Lihatlah stereotip pengurus RT/RW yang suka melakukan pungli dan (maaf) bloon serta konyol dalam sinetron, filem, atau iklan televisi.
Karena itu, jika RT/RW tetap dibutuhkan, Pemerintah perlu merevisi dan mereposisikannya secara tepat. Ada tiga poin yang perlu diperhatikan.
Pertama, penegasan status kelembagaan (swakarsa masyarakat ataukah biro pemerintahan); kedua, kejelasan aturan kelembagaan (tanggung jawab, perimbangan hak dan kewajiban, penghargaan yang layak, pedoman kerja dll.); ketiga, peningkatan kapasitas pengurus RT/RW. Saya persilakan Badan Perwakilan Desa, DPRD, DPR bersama pemerintah memikirkannya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H