Penulis kembali menayangkan tulisan mengenai usulan untuk melakukan Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) terkait kewenangan Mahkamah Konstitusi (“MK”). Pada tulisan sebelumnya (“Amandemen UUD 1945 dan UU MK Terkait Kewenangan MK?”) terkait Amandemen UUD 1945, penulis telah membahas bahwasanya lebih baik dilakukan Amandemen UUD 1945 dan UU MK terkait kewenangan MK, khususnya mengenai kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945.
Dengan adanya salah satu kewenangan yang diatur di dalam UUD 1945 tersebut, maka secara hukum MK pun dapat melakukan pengujian undang-undang terkait dirinya sendiri (red. MK) sebagaimana telah kita ketahui bersama dalam beberapa perkara permohonan menyangkut hal tersebut. Hal yang nyata dapat kita lihat dalam Putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 tertanggal 23 Agustus 2006, yang mengakibatkan Komisi Yudisial (“KY”) tidak dapat melakukan pengawasan terhadap Hakim MK, yang didahului dengan permohonan para Pemohon (red. 31 Hakim Agung) agar MK melakukan pengujian terhadap UU KY dan UU tentang Kekuasaan Kehakiman.
Mengapa penulis tidak mengedepankan pentingnya diterbitkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang (“PERPU”) sebagaimana ramai dibahas pada akhir-akhir ini? Apakah dengan mengeluarkan PERPU permasalahan terkait kewenangan MK akan selesai?
Yang pertama, kita mengetahui bahwasanya salah satu asas peraturan perundang-undangan adalah “peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula”. Sebagaimana kita ketahui PERPU ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia (“Presiden RI”) dengan mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (“DPR”) dalam persidangan berikut dan bilamana tidak mendapatkan persetujuan DPR, maka PERPU itu harus dicabut (vide/lihat Pasal 22 UUD 1945). Sedangkan UUD 1945 adalah bentuk peraturan perundangan yang tertinggi yang menjadi dasar dan sumber bagi semua peraturan perundangan bawahan dalam negara RI, yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (“MPR”). Meskipun saat ini MPR bukan lagi menjadi lembaga tertinggi negara. Sehingga secara norma berjenjang kedudukan UUD 1945 tetap lebih tinggi dibandingkan dengan PERPU.
Hal yang kedua adalah, asas Peraturan Perundang-undangan yang menyatakan bahwasanya “peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Bilamana Presiden RI mengeluarkan PERPU yang mengatur mengenai pembatasan wewenang MK, umpamanya terkait tidak bolehnya MK melakukan pengujian undang-undang terkait MK terhadap UUD 1945, apakah hal tersebut justru bertentangan dengan UUD 1945? Sementara UUD 1945 apabila tidak dilakukan Amandemen dalam Pasal 24C ayat (1) menyatakan sebagai berikut:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, … dan seterusnya.”
Kedua hal tersebut di atas sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 7 UU 12/2011:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Penjelasan:
Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
Penjelasan:
Termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Penjelasan:
Termasuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Qanun yang berlaku di Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Penjelasan:
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah perjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.”
Adapun hal yang ketiga, the last but not least, bilamana rekan Kompasianer melihat tayangan Indonesia Lawyer Club tadi malam, 8 Oktober 2013, Prof. J.E. Sahetapy pun pada intinya menyatakan bahwasanya lebih baik dilakukan Amandemen UUD 1945 terkait kewenangan MK. Meskipun beliau menyatakan sampai dengan saat ini pun belum mengetahui hal-hal apa yang akan diatur secara jelas dan tegas di dalam PERPU yang direncanakan tersebut.
Pada akhirnya tulisan ini tentunya hanyalah bersifat usulan dari penulis guna perbaikan bagi kehidupan konstitusi di NKRI yang berdasar atas hukum. Penulis berharap hukum yang berkeadilan (substantif) benar-benar dapat dirasakan oleh rakyat NKRI. Amin YRA.
Salam keadilan…
Referensi: Peraturan perundang-undangan dan Putusan MK terkait, serta tayangan Indonesia Lawyers Club pada tanggal 8 Oktober 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H