Mohon tunggu...
EquaLaws Consultant
EquaLaws Consultant Mohon Tunggu... profesional -

The Counselor II Non partisan II Dalam keadilan, ada kebenaran... #Salam keadilan... ;)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

[Tanya Jawab] Hak Asuh Anak Saat Perceraian

29 Juli 2013   20:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:52 32718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1391935517434701812

[caption id="attachment_321528" align="aligncenter" width="300" caption="Situs liputan6.com (yang bersumber dari childfocusedfamilycentered.com)"][/caption]

TANYA:

Hal apa saja yang bisa membuat hak asuh anak jatuh pada ibu/ayah? Teman saya dalam proses perceraian supaya bisa dapat hak asuh, jadi ingin tahu sistem pengadilannya (ditanyakan oleh Ibu Andriani Suryansyah melalui Kompasiana pada tanggal 20 Juli 2013).

JAWAB:

Yth., Ibu Andriani Suryansyah, berikut kami mencoba menjawab pertanyaan Ibu terkait hal tersebut di atas.

Sebelumnya mengenai hak asuh anak ini diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang menyebutkan sebagai berikut:

Pasal 41 huruf a UU Perkawinan:

“Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

a.Baik Ibu atau Bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;”

Adapun pemeliharaan anak atau hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri (vide/lihat Pasal 1 huruf g Kompilasi Hukum Islam/KHI).

Yang dalam prakteknya, mengenai permintaan hak asuh terhadap anak/anak-anak ini seringkali diajukan oleh suami atau isteri bersamaan dengan Permohonan Talak (jika suami beragama Islam) dan Gugatan Perceraian (oleh pihak isteri) melalui Pengadilan Agama (jika yang berperkara beragama Islam) atau Pengadilan Negeri (jika para pihak yang berperkara, beragama selain Islam).

Sebagai contoh dalam perkara perceraian melalui Pengadilan Agama, maka pengajuan hak asuh terhadap anak/anak-anak oleh pihak isteri, biasanya menggunakan ketentuan-ketentuan hukum sebagaimana diatur di dalam KHI sebagai berikut:

Pasal 105 KHI:

“Dalam hal terjadinya perceraian:

a.Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

b.Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;

c.Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”

Selanjutnya disebutkan pula dalam Pasal 156 KHI sebagai berikut:

“Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah:

a.anak yang belum mummayiz berhak mendapatkan hadhanah dan ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:

1.wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;

2.ayah;

3.wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;

4.saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5.wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

b.anak yang sudah mummayiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;

c.apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;

d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun);

e.bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), dan (d);

f.pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.”

Sehingga berdasarkan hal-hal tersebut di atas, sang isteri dapat mengajukan hak asuh berdasarkan usia anak (belum atau sudah mummayiz) dan dapat meminta nafkah anak (biaya hadhanah) bagi anak/anak-anaknya kepada pihak suami melalui pengadilan.

Namun demikian selain hal-hal tersebut di atas, pihak isteri (berlaku pula bagi pihak suami) dapat pula meminta hak asuh atas anak/anak-anaknya berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak/anak-anaknya, dengan membuktikan dalil-dalinya bahwasanya salah satu pihak ternyata tidak dapat dijadikan sosok teladan bagi anak/anak-anaknya atau dengan perkataan lain salah satu pihak tidak dapat menjalankan kewajiban yang baik sebagai orangtua terhadap anak/anak-anaknya, dalam hal-hal sebagai berikut:

1.salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

2.salah satu pihak telah meninggalkan pihak lain tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;

3.salah satu pihak mendapat hukuman penjara;

4.salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

5.dalam melakukan kegiatan pemeliharaan anak/anak-anak selama ini, ternyata tidak lebih baik dibandingkan pihak yang mengajukan; dan/atau

6.alasan-alasan lainnya.

Sehingga dikhawatirkan tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak/anak-anaknya, bilamana menjadi pihak yang mendapatkan hak asuh atas anak/anak-anaknya tersebut.

Biasanya pihak suami akan memakai ketentuan hukum yang salah satunya berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3 Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak-hak Anak):

Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, lembaga peradilan, lembaga pemerintah atau legislatif, kepentingan terbaik anak akan merupakan pertimbangan utama.”

Pengadilan Agama pun seringkali memenangkan pihak suami dalam hal dimaksud tersebut di atas, meskipun anak/anak-anaknya belum mummayiz.

Demikian jawaban singkat kami terhadap pertanyaan Ibu dan mudah-mudahan bermanfaat. Amin YRA. [EC]

#Salam Keadilan…

# Referensi:

-UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;

-PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;

- Kompilasi Hukum Islam;

- Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang Hak-hak Anak).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun