Polri tidak menutup mata adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh individu di lingkungan kepolisian, sebagaimana disampaikan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Irjen Ronny F Sompie, pada saat HUT Bhayangkara ke-67 di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Senin, 1 Juli 2013 (Republika, 2 Juli 2013).
Sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan-ketentuan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU No. 2 Tahun 2002), kepolisian mempunyai salah satu fungsi, tujuan dan peran dalam hal penegakan hukum guna tertib dan tegaknya hukum, selain pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat guna terwujudnya keamanan dalam negeri, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (vide Pasal 2, 4, 5 UU No. 2 Tahun 2002).
Kita pun mengetahui bersama bahwasanya akhir-akhir ini banyak sekali pemberitaan terkait pelanggaran hukum (law breaking) yang dilakukan oleh individu yang berprofesi polisi, sebagai salah satu aparat penegak hukum di Indonesia. Adapun pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan, di antaranya adalah perkara tindak pidana korupsi, pembunuhan, penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan, pemerkosaan, penganiayaan, dan lain sebagainya.
Miris dan tragis. Mungkin kalimat itulah yang dapat menggambarkan peristiwa berbagai macam pelanggaran hukum tersebut. Hal yang seharusnya tidak dilakukan oleh seseorang yang seharusnya menjaga dan menegakkan hukum itu sendiri.
Bukan bermaksud membenarkan atas pelanggaran hukum tersebut, namun jika kita berusaha menilai secara obyektif, maka mau tidak mau, suka tidak suka, tidak hanya individu di institusi kepolisian saja yang notabene sebagai aparat penegak hukum di Indonesia yang melakukan pelanggaran hukum. Individu pada institusi penegak hukum lainnya pun dapat kita temui melakukan pelanggaran hukum, seperti pengacara, jaksa dan juga hakim.
Namun jika kita berbicara mengenai kepolisian, maka penulis dapat menyatakan bahwasanya polisi sebagai aparat penegak hukum yang berada di garda paling depan dalam melaksanakan fungsi, tujuan dan perannya, khususnya dalam hal penegakan hukum.
Apakah penyebab seorang polisi melakukan tindak pidana? Bagaimana penegakan hukum dapat berjalan secara optimal dan maksimal, jika kepolisian mempunyai anggota yang melakukan pelanggaran hukum? Banyak pertanyaan lainnya terkait hal-hal tersebut di atas dan tentunya kita pun sebagai anggota masyarakat/rakyat dalam Negara Republik Indonesia harus menjawabnya secara arif, bijaksana dan obyektif.
Ditinjau dari ilmu kriminologi (krimininologi konvensional dan kriminologi kritis) ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi pelaku pelanggaran hukum atau melakukan pelanggaran hukum, di antaranya adalah faktor kualitas dari pribadi pelaku itu sendiri (dalam hal ini seperti nilai-nilai dasar dalam kehidupan manusia berupa persaingan, keinginan memiliki, individualisme dan mencari kesenangan/kebahagian) dan juga adanya faktor luar, seperti produk dari budaya, sikap tindakan masyarakat dan proses pelabelan dalam masyarakat.
Penyebab polisi melakukan pelanggaran hukum, jika dihubungkan dengan ilmu kriminologi tersebut di atas, maka dapat disebabkan karena faktor keimanan, faktor ekonomi, faktor kekuasaan, faktor sosial (seperti praktek korupsi yang sudah sangat mengkhawatirkan di kehidupan masyarakat kita) dan distorsi dari proses penerapan hukum itu sendiri (criminal justice system).
Dengan adanya polisi selaku aparat penegak hukum yang melakukan pelanggaran hukum, tentunya hal tersebut menimbulkan kekhawatiran dalam kehidupan masyarakat kita. Mengapa demikian? Dikarenakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pihak yang mempunyai kekuasaan jauh lebih serius dibandingkan dengan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh rakyat biasa (Jock Young, Critical Criminology in the Twenty first century. Critical. Htm, 8 September 2011: 2) (Munir Fuady, 2013: 284).
Penulis dapat memahami pandangan dari Jock Young tersebut. Yang dapat dikorelasikan dalam kehidupan masyarakat kita. Terlebih jika dikorelasikan dengan putusan hakim pada lembaga peradilan yang menjatuhkan putusan hukum yang tidak mencerminkan keadilan dalam masyarakat. Seperti pencurian sepeda motor atau hewan dibandingkan dengan pelaku kejahatan kerah putih, korupsi, pencucian uang, dan lainnya.
Masyarakat pun seringkali berpandangan, "Aparat penegak hukumnya saja begitu (red. melakukan pelanggaran hukum), apalagi kita (red. masyarakat)." Sehingga atas hal tersebut dapat menimbulkan krisis dalam kehidupan masyarakat, yakni krisis kepercayaan terhadap aparat penegak hukum dan krisis kepercayaan terhadap hukum itu sendiri dikarenakan tidak adanya keteladanan dari polisi yang merupakan aparat penegak hukum.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah tidak ada polisi yang baik? Sosok yang dapat memberi contoh dan teladan bagi penegakan hukum? Polisi yang selalu menjalankan idealisme dan mengedepankan kebenaran dan keadilan berdasar atas hukum?
Tentunya masih banyak polisi baik dibandingkan dengan polisi yang tidak baik. Masih banyak polisi, yang "good cop" dibandingkan dengan "bad cop". Pada masa lalu kita dapat melihat sosok mantan Kapolri Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Imam Santoso (Alm) sebagai polisi yang terkenal dengan kejujurannya dan bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Pada masa ini pun, penulis yakin bahwasanya masih banyak polisi baik yang mempunyai moral yang terpuji, jujur, anti KKN, berprestasi, serta dapat melaksanakan fungsi, tujuan dan peran yang akan mengharumkan nama institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia kembali dan dapat menjadi teladan dalam kehidupan masyarakat kita. Amin.
Dirgahayu Kepolisian NKRI!
#Salam Keadilan..
Referensi:
- Fuady, Munir. Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory). Jakarta: Kencana, 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H