Agak terhenyak membaca pemberitaan di Kompas.com terkait dua orang hakim pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri yang diduga telah berselingkuh. Dua orang hakim tersebut kemudian disidang etik oleh Majelis Kehormatan Hakim dan diputuskan terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana diatur di dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI No. 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Ketua Komisi Yudisial RI No. 02/SKB/P.KY/IV/2009. Kemudian dua orang hakim tersebut diberikan sanksi berat, yakni diberhentikan tetap dengan hak pensiun.
Yang membuat penulis terhenyak adalah selain perilaku yang dinyatakan terbukti, juga terkait sanksi yang telah diberikan. Pemberhentian dengan tetap mendapatkan hak pensiun. Saat membaca pemberitaan tersebut, secara seketika penulis bertanya dalam hati kecil penulis, apakah media online tersebut tidak salah memberitakan terkait sanksi dimaksud. Belum habis kegundahan penulis, kemudian penulis mencari tahu dasar hukum atas sanksi tersebut, khususnya terkait hak pensiun.
Penulis pun kemudian membuka Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana tersebut di atas, namun tak ditemukan jenis-jenis sanksi. Kemudian penulis membuka UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, lagi-lagi belum ditemukan terkait sanksi bagi hakim yang melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim. Baru akhirnya penulis membuka UU No. 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Akhirnya keingintahuan penulis terpenuhi setelah membaca ketentuan dalam Pasal 22D ayat (1) dan (2) UU 18/2011 yang berbunyi sebagai berikut:
"(1) Dalam hal dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim dinyatakan terbukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22C huruf a, Komisi Yudisial mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap Hakim yang diduga melakukan pelanggaran kepada Mahkamah Agung.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. Sanksi ringan terdiri atas: 1) teguran lisan; 2) teguran tertulis; atau 3) pernyataan tidak puas secara tertulis.
b. Sanksi sedang terdiri atas: 1) penundaan kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun; 2) penurunan gaji sebesar 1 (satu) kali kenaikan gaji berkala paling lama 1 (satu) tahun; 3) penundaan kenaikan pangkat paling lama 1 (satu ) tahun; atau 4) hakim nonpalu paling lama 6 (enam) bulan.
c. Sanksi berat terdiri atas: 1) pembebasan dari jabatan struktural; 2) hakim nonpalu lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 2 (dua) tahun; 3) pemberhentian sementara; 4) pemberhentian tetap dengan hak pensiun; atau 5) pemberhentian tetap tidak dengan hormat."
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah jenis hukuman tersebut telah memberikan rasa keadilan kepada masyarakat, meskipun pelanggaran kode etik tersebut tidak bersinggungan dengan masyarakat. Pertanyaan penulis ini dirasa manusiawi adanya, mengingat hakim diwajibkan untuk memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan profesional.
Sebagai penutup, akankah UU terkait Komisi Yudisial dilakukan perubahan kembali? Pada khususnya terkait sanksi berat pemberhentikan tetap dengan hak pensiun? Bagaimana menurut Anda, para Sobat Kompasianer?
Salam keadilan... ;)