Bagi seorang pengacara yang mewakili ataupun mendampingi (kepentingan hukum) kliennya, terlebih atas kasus yang menjadi perhatian publik (masyarakat awam), maka prinsip kehati-hatian menjadi suatu hal yang wajib dijunjung tinggi. Bukan berarti pengacara yang tidak menangani kasus yang menjadi perhatian publik, tidak menjunjung tinggi kehati-hatian. Terlebih kala menjadi pengacara yang mewakili para capres cawapres RI yang ketujuh dan KPU. Sebagian rakyat Indonesia pastinya memantau pemberitaan atas persidangan yang digelar di MK RI.
Berikut kami kutip sepenggal pemberitaan dari situs Mahkamah Konstitusi RI terkait sengketa Pilpres 2014: "Adapun Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengingatkan para pihak, baik Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait untuk melengkapi tanda tangan kuasa hukumnya. “Untuk Pemohon ada 31 kuasa yang belum menandatangani, surat kuasa untuk KPU juga satu orang belum tanda tangan, dan Pihak Terkait juga ada 36 kuasa yang belum. Kalau tidak ditandatangani, lebih baik (nama kuasa hukumnya) dibuang saja,” imbaunya." Artinya hakim pada MK RI memandang penting surat kuasa khusus yang diberikan oleh para pihak tersebut kepada para pengacaranya. Mengapa demikian?
Sebagaimana kita ketahui bersama, pemberian kuasa dapat diberikan secara lisan dari pihak pemberi kuasa kepada penerima kuasa. Namun demikian, dalam praktik ataupun kebiasaan hukum, pada khususnya saat berperkara di pengadilan, maka pemberian kuasa dilakukan secara tertulis. Hal ini sejalan dengan Pasal 123 ayat (1) Het Herziene Indonesische Reglement (“HIR”) atau Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (“RIB”), surat kuasa khusus harus berbentuk tertulis (in writing) (M. Yahya Harahap, 2013: 16).
Bila dalam berperkara di pengadilan pemberian kuasa tidak dilakukan secara tertulis, maka hal tersebut sangat jarang terjadi dan hakim yang formalistis kurang setuju atas hal ini. Apalagi sebagai pengacara selaku pihak penerima kuasa belum menandatangani surat kuasa khusus tersebut. Surat kuasa khusus tersebut dapat dinyatakan cacat formil terkait identitas dan/atau kedudukan para pihak (vide/lihat Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1994 tertanggal 14 Oktober 1994). Yang bila tidak disempurnakan dapat mengakibatkan kuasa tidak sah.
Salam keadilan… ;)
Referensi:
- HIR/RIB;
- Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata – Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Ke-13 tahun 2013;
- http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10099
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H