Mohon tunggu...
Eqn Lee
Eqn Lee Mohon Tunggu... -

Menyenangi menulis, petualangan, fotografi, dan membuat hidup orang lain lebih berguna.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

"Di Timur Matahari," Masih Indonesia

15 Juni 2012   04:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:58 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Matzmur melihat jauh. Pandangannya melewati bunga-bunga, rerumputan hijau, hamparan bukit dan pegunungan. Ia sedang menanti-nanti teman-temannya yang akan datang ke sekolah. Tiba-tiba Matzmur berlari kencang, menuju gedung sekolah yang terletak sendirian di tengah gunung. Dindingnya dari papan yang dicat kuning muda. Atapnya berwarna coklat. Di atasnya ada bendera merah putih.

Di belakang Matzmur, beberapa orang anak laki-laki dan perempuan mengikutinya masuk ke ruangan kelas. Sebagian besar menggunakan seragam merah putih. Lalu semua duduk diam di bangku masing-masing. Ada yang duduk sebangku bertiga. Suasana hening. Kemudian Matzmur, yang berdiri depan kelas, memandang satu-satu temannya dan berkata, "Teman-teman, guru pengganti belum datang. Kita menyanyi saja." Matzmur dan teman-temannya lalu tertawa.

Begitulah adegan pembuka film terbaru produksi Ari Sihasale, "Di Timur Matahari". Film yang menceritakan perjuangan anak-anak Papua yang masih saja sulit mendapatkan pendidikan yang layak. Guru pengganti pergi ke Jayapura. Sudah enam bulan tak ada guru pengganti. Dan nyaris setiap pagi, Matzmur dan teman-temannya berseragam merah putih berlari ke gedung sekolah dan bernyanyi atau bermain bola di dalam ruangan kelas 'demi' menanti sang guru datang dan mengajari mereka baca tulis menghitung dan ilmu alam.

Sepanjang film, penonton dimanjakan dengan pemandangan alami pegunungan tengah di daerah Timika Papua yang masih terbentang luas dengan pegunungan hijau, langit biru, kesuburan alam, dan sejuknya udara. Namun dalam kelimpahan anugerah alam itu, masih ada pendidikan yang belum layak, hukum adat yang berlaku lebih kuat dari peraturan pemerintah bahkan sekali-kali melebihi Tuhan, perang antar kampung, teknologi yang menjebak anak-anak dan kaum muda Papua, mahalnya harga sembako, tak adanya saluran listrik, dan sulitnya mendapatkan sarana sanitasi di sana.

Saya ingat adegan di mana Mama Vina yang diperankan oleh Laura Basuki membeli sembako tidak lebih dari 5 jerigen minyak goreng dan 2 karung beras. "Semuanya total 3,8 juta Mama", kata sang penjual sembako. Ia lalu menjelaskan yang bikin mahal adalah ongkos transport membawa sembako dari Jawa ke Papua.

Hah! Mama Vina membelalak, meminta nota, dan memeriksa lagi harga sembako. Ia lalu bergumam, "Bagaimana nggak pada minta merdeka?". Kondisi ini sudah bertahun-tahun terjadi di Papua. Dan sampai hari ini, situasi dalam film yang diperuntukkan bagi anak-anak mengisi liburan panjang mereka ini, masih berlaku. Bahkan satu-satunya pendeta, Bapak Samuel, yang diperankan dengan baik oleh Lukman Sardi, di antara kesibukannya melayani umat, pada akhirnya juga sekaligus menjadi guru pengganti untuk anak-anak yang haus pendidikan itu. Dokter yang  juga hanya satu-satunya, sekali-kali juga menjadi guru di tengah-tengah tugasnya memeriksa kesehatan masyarakat setempat.

Bagaimana pun, negeri di timur matahari itu, masih Indonesia. Begitu banyakkah kenyamanan yang begitu membodohi kita hingga ketidakadilan yang masih terjadi di negeri ini seperti rantai tak berujung? Bukankah mereka masih Indonesia? Kalau bukan bangsa ini, apakah kita harus menunggu orang-orang asing datang dan merogoh uang mereka sendiri demi masyarakat kita mendapatkan air bersih, pendidikan yang layak, aliran listrik yang ke kampung-kampung, bla bla bla??

Dalam film berdurasi 110 menit ini, pendeta sebagai orang yang disegani, dokter, dan guru adalah orang-orang yang diharapkan memajukan kehidupan masyarakat. Belum lagi mengubah pola pikir masyarakat yang masih kukuh memegang hukum adat karena hanya hukum adat yang berpihak pada kepentingan mereka. Banyak adegan dan dialog yang terus dibangun sepanjang film untuk membuka mata hati dan pikiran kita bahwa saudara-saudara kita yang masih Indonesia itu masih membutuhkan keberanian kita untuk bergandeng tangan menyejahterakan kehidupan masyarakat.

Seperti di ujung film, ketika banyak hal menjadi pekerjaan rumah kita bersama, sedikit kalimat pendek mempertanyakan, "Kalau bukan kitorang (kita), siapa lagi?" -- yang akan melakukan pekerjaan besar ini?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun