FRASA afirmasi belakangan ini tengah naik-daun. Menjadi bahan perbincangan di masyarakat. Akan tetapi, apa sebenarnya afirmasi? Menilik dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBB), afirmasi adalah suatu penetapan yang positif, penegasan, atau peneguhan. Bisa untuk diri sendiri, maupun orang lain, untuk mendapatkan pengaruh positif dari suatu hal yang dilakukannya. Afirmasi positif dapat membangun pribadi dan jadi motivasi untuk perubahan dan kemajuan dalam kegiatan sehari-hari seseorang.
Afirmasi positif bermanfaat untuk mengurangi stres, meningkatkan kepercayaan diri, dan meningkatkan keyakinan akan kemampuan diri sendiri (self-efficacy). Pasalnya, mengulang-ulang pernyataan positif bisa menstimulasi otak untuk mempercayai bahwa afirmasi tersebut adalah fakta. Ini berbeda maknanya dengan "Kabohongan yang diulang terus menerus bisa diterima sebagai kebenaran", sebagaimana filosofi Adolf Hitler di masa lalu.
Afirmasi yang dimaksudkan dalam paparan ini terkait dengan pernyataan Presiden Joko Widodo beberapa hari lalu di Bali. Pada Jumat (25/3/2022) itu, Presiden Jokowi meneguhkan keinginannya agar para pejabat, baik di pusat maupun daerah, lebih mengutamakan produksi dalam negeri. Buatan lokal, apa pun, layak lebih dihargai dibanding produksi luar negeri. Intinya, Jokowi kesal karena mayoritas pejabat di pusat dan daerah lebih bertumpu pada produk impor.
Dana di berbagai kementerian, tuding presiden, lebih banyak dipergunakan untuk mengimpor ketimbang dibelanjakan pada produksi dalam negeri yang mutunya tidak kalah. Secara spesifik Jokowi menyebut Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai kementerian yang paling boros mendatangkan produk impor yang ironisnya sudah diproduksi di dalam negeri dan kualitasnya setara.
Kemarahan Jokowi pada acara "Aksi Afirmasi Bangga Buatan Indonesia" tersebut langsung memperoleh respon dari berbagai kalangan. Masyarakat akhirnya semakin mengetahui kebobrokan pada beberapa kementerian, terutama BUMN. Pemberian media-massa diwarnai kegeraman Jokowi pada sejumlah kementerian, lembaga, pemerintah daerah (pemda) hingga BUMN yang kecanduan impor itu.
RI 1 bahkan mendesak Menteri BUMN Erick Thohir untuk mencopot bos perusahaan pelat merah yang ogah memaksimalkan penyerapan barang dalam negeri. Masyarakat yang turut kesal bahkan mendesak Jokowi mencopot Menteri BUMN Erick Thohir dicopot. Tidak sekadar meminta Erick Thohir memecat para pimpinan BUMN yang lebih "impor oriented".
Sejumlah pengamat menganggap wajar kemarahan Jokowi tersebut. Sebab, kebanyakan perusahaan milik negara memang cenderung belum bisa lepas dari ketergantungan impor.
Bahkan untuk industri obat, sekitar 90 persen bahan bakunya impor. Boleh jadi ini yang membuat presiden geram. Kita ketahui, ada beberapa BUMN farmasi yang punya urusan dalam memproduksi obat. Seperti Holding BUMN Farmasi yang digawangi Bio Farma, PT Kimia Farma (Persero), dan PT Indofarma, serta PT Phapros Tbk yang merupakan anak perusahaan Kimia Farma.
BUMN yang bergerak di industri farmasi tersebut terpantau tidak ekonomis dalam menjalankan kegiatan bisnisnya. Produksi bahan baku obat kimiawi mahal. Dampaknya ke harga obat yang dijual, sehingga bisa kalah bersaing di industri. Jika bicara soal untung rugi, alasan itu wajar saja. Namun, BUMN seharusnya punya misi sosial serta mau mendukung perekonomian nasional, seperti diamanatkan dalam Undang Undang. Mestinya BUMN yang memulai produksi bahan baku sendiri jangan terus-terusan berpikir laba. Di sini peran Menteri BUMN jadi sangat penting.
Jika dirunut ke belakang kemarahan Jokowi pada kinerja Erick Thohir dalam memimpin kementerian BUMN memang sudah lama. Para rapat-rapat kabinet presiden kerap mengkritik sejumlah BUMN, terutama Pertamina dan PLN. Jokowi menyebut jika keruwetan yang ada di birokrasi membuat ban...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H