Badan Pengelola Dana Perekbunan Kelapa Sawit  (BPDP KS) memiliki tugas untuk memastikan berjalannya program Sustainable Development Goals (SDGs). Hal ini diwujudkan oleh lembaga yang bernaung di bawah Kementerian Keuangan ini lewat PSR (Peremajaan Sawit Rakyat). Para petani sawit perorangan adalah sasaran utama program SDGs itu.  Â
BPDP KS mentargetkan mampu meremajakan 500 ribu hektar sawit milik petani di seluruh Indonesia dalam tiga tahun ke depan. Lembaga ini memberikan bantuan dana Rp25 juta/hektar, untuk program peremajaan ini.Â
Pada tahun 2018 dan 2019 target peremajaan banyak terhambat oleh kondisi lapangan. Misalnya status lahan, kurangnya informasi dari petani. Selain itu masih ada kendala  aturan dan prosedur yang diterima para petani. Untuk lebih mensukseskan maka pada tahun-tahun depan, lembaga ini berencana memperbaiki kendala itu. Strategi yang kini digunakan BPDP KS adalah mengganden pihak surveyor dalam  verifikasi petani dan lahan yang akan didanai.
Dana yang dikumpulkan untuk peremajaan ini memang berasal dari pungutan ekspor kelapa sawit. Kegiatan ekspor ini lebih banyak dilakukan oleh perusahaan dan korporasi sawit besar. Namun sebagai instrument pemerintah, BPDP KS wajib menciptakan stabilitas harga Tandan Buah Segar (TBS) di dalam negeri. Untuk itu PSR harus mendapatkan perhatian. Â
Hal ini bisa menjadi pelindung bagi petani perorangan untuk mendapatkan harga jual hasil kelapa sawit kebun mereka secara layak dan menguntungkan.
Luas lahan perkebunan sawit rakyat pada 2018 mencapai 5,81 juta ha. Dari jumlah tersebut, sebanyak 4,57 juta ha atau 78,56% merupakan lahan tanaman menghasilkan (mature). Sementara 1,16 juta ha atau 19,98% adalah lahan tanaman yang belum menghasilkan (immature) dan 84 ribu ha atau 1,45% merupakan lahan tanaman yang sudah tidak menghasilkan (damaged). Adapun jumlah petani yang menggantungkan hidup dari perkebunan sawit mencapai 2,67 juta kepala keluarga (kk).
PSR dibutuhkan karena karakter dan kemampuan petani sawit perorangan dalam mengelola perkebunan mereka tak sebaik korporasi dan perusahaan besar. Apalagi petani sawit tidak memilik resource besar dalam mengelola bisnis perkebunan minyak nabati mereka ini.
Masalah lainnya dari petani sawit adalah produktitivas perkebunan sawit rakyat yang rendah sehingga kalah bersaing dengan perkebunan besar. Mereka terhambat antara lain karena kurangnya pendampingan oleh pemerintah termasuk bantuan pengadaan bibit sawit, dan tumpang tindih lahan (legalitas).
Hal ini membuat produktivitas sawit perkebunan rakyat pada 2018 hanya 3,066 kg per ha. Angka itu lebih rendah dari produktivitas perkebunan besar negara yang mencapai 3,68 kg per ha maupun perkebunan besar swasta yang mencapai 4,07 kg per ha.
Lewat PSR dan sejumlah program pendampingan lain, BPDP KS berharap, petani sawit akan mendapat keuntungan sama banyak dengan apa yang diperoleh korporasi atau perusahaan saat harga kelapa sawit meningkat.