Jangan heran jika satu atau dua tahun mendatang sebutan kota Nanas bagi Subang akan berubah menjadi Kota Garmen, hal ini dibuktikan dengan semakin maraknya pendirian pabrik garmen di beberapa daerah. Sangat disayangkan, karena sebutan kota Nanas yang memang sudah menjadi ikon kebanggaan masyarakat Subang akan berganti dengan sebuah ikon yang lahir bukan dari masyarakat Subang melainkan dari investor asing, investor Korea tepatnya, yang kemudian bisa juga Kota Subang, kota Nanas berubah menjadi Kota Korea, sangat miris sekali.
Seperti yang dirilis, Harian Umum Pasundan Ekspres (Senin, 23/05/2011) "Subang Dikepung Investor Asing" bahwa sekitar 80 persen perusahaan asing memiliki pabrik, lebih spesifikasi lagi yaitu investor Korea, disebutkan pula dalam catatan Badan Penanaman Modal dan Perizinan (BPMP) tercatat sebanyak 27 perusahaan yang telah mendirikan Pabrik di Kota Subang. Hal ini tidak menutup kemungkinan akan merangsang investor asing lainnya untuk berlomba mendirikan pabrik di Subang, sehingga satu atau dua tahun kedepan ratusan pabrik akan bermunculan disetiap titik di Kabupaten Subang.
Apalagi melihat pernyataan Ketua DPRD Atin Supriatin yang mengharapkan disetiap Kecamatan di Kabupaten Subang terdapat Pabrik Garmen dengan alasan penyerapan tenaga kerja, dan pertimbangan banyaknya angka pengangguran di Subang (Pasundan Ekspres, 25/5/2011) ini akan berakibat pada kelonggaran perijinan pendirian Pabrik sehingga adanya keleluasaan dan peluang Investor untuk bisa mendirikan pabrik di Subang, Nampaknya Raperda Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) yang sedang digodok di DPRD Subang ini juga berindikasi akan melebarkan Zona Industri di Setiap Kecamatan di Subang, Perda (RTRW) pun sepertinya akan menguntungkan para investor asing.
Yang sangat disayangkan lagi, Pendirian pabrik bukan saja hanya dilahan yang tidak produktif melainkan di lahan pertanian produktif, puluhan hektare sawahpun berubah menjadi pabrik-pabrik yang menjulang, Daenong misalnya. Selain itu diindikasikan pabrik juga didirikan di daerah resapan air. Pendirian Pabrik di Subang juga sudah melenceng dari Perda Nomor 32 Tahun 1996 tentang Zona dan Kawasan Industri yang terdiri dari Kecamatan Pabuaran, Cipeundeuy, Kalijati, Purwadadi, Pagaden, Cibogo dan Cipunagara. Kabupaten Subang, dengan potensi pertaniannya, kemudian hari akan menghilang, tergusur dan tergantikan oleh pabrik-pabrik sehingga menjadi kawasan industri.
Selain itu, tentu tidak dipungkiri dampak pabrik terhadap lingkungan yang sangat membahayakan, limbah yang dihasilkan pabrik tekstil misalnya, akan mencemari lingkungan, mencemari air sungai dan udara karena limbahnya mengandung unsure logam yang termasuk kategori B3 (Bahan Beracun Berbahaya), yang bisa memacu kanker kulit dan gangguan saluran pernafasan. Limbah yang di buang ke sungai juga akan mengakibatkan kerusakan ekosistem sungai, ikan-ikan mati, aliran air juga akan terkirim ke lahan pertanian dan terjadinya pencemaran hasil pertanian dan bisa juga meresap ke sumur-sumur perumahan sehingga sangat memungkinkan membahayakan manusia.
Adanya pabrik tentu di satu sisi memang menguntungkan, selain menguntungkan pemerintahan dari pajaknya juga dengan proyek perijinannya serta juga penyerapan tenaga kerja sehingga mengurangi angka pengangguran, akan tetapi dibalik itu maraknya pendirian pabrik akan sangat merugikan sekali, terutama bagi mentalitas masyarakat Subang yang akan menjadi masyarakat pekerja (buruh), yang akan sangat bergantung sekali terhadap beroperasinya pabrik, Masyarakat tidak akan lagi mengindahkan pendidikan, dengan alasan mudahnya mencari uang dengan tanpa harus sekolah tinggi-tinggi. Hasil penelusuran penulis, hampir 90 persen dari 30 Siswa SLTP di daerah Patokbeusi dan Purwadadi yang ditanya kelanjutan studi pasca SLTP, mereka menjawab akan bekerja di Pabrik. Subang kini akan mencetak manusia-manusia buruh dari pada manusia-manusia berfikir dan intelektual.
Kemudian, Pemerintah serta sebagian masyarakat Subang yang bekerja di Pabrik boleh berbangga saat ini, dengan mudahnya mencari pekerjaan menjadi buruh pabrik, akan tetapi, masa depan mereka dipertaruhkan, dengan menjual lahan-lahan Kabupaten Subang bahkan diistilahkan dengan Subang dikelilingi Investor asing, tidak menutup kemungkinan pabrik-pabrik garmen atau tekstil yang sekarang marak di Subang ini akan bermetamorfosis menjadi sebuah pabrik yang tidak banyak menyerap tenaga kerja masyarakat Subang, melainkan dengan menggunakan tenaga mesin, mereka akan mem-PHK-kan pekerja dari Subang dengan alasan keterbatasan pengetahuan dan keterampilan. Atau pemilik pabrik-pabrik tersebut akan membuat scenario drama kepailitan dan kebangkrutan sehingga menjadi alasan memberhentikan buruh-buruhnya, tetapi kemudian pemilik pabrik tersebut akan menjadikan tempatnya sebagai gudang produk asing yang didatangkan dari Negara asalnya.
Yang lebih parah, sangat memungkinkan jika kedepannya, pabrik-pabrik di Subang akan merger menjadi sebuah kesatuan Mega Pabrik yang hanya diisi dengan tenaga kerja yang didatangkan dari Negara mereka, sehingga masyarakat Subang hanya menjadi penonton an-sich.
Marilah kita berfikir bersama segala kemungkinan yang ada, terutama Pemerintah serta DPRD penyambung aspirasi suara masyarakat jangan hanya dengan alasan penyerapan tenaga kerja tetapi sekian banyak dampak negatifnya tidak diperhatikan, terutama masa depan Masyarakat Subang, tentunya masyarakat tidak rela Ikon Kota Nanas berubah menjadi Kota Garmen yang diyakini sangat merugikan.
Dipostkan di Harian Umum Pasundan Ekspres
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H