Berniat kuliah di kota, dengan segudang harapan dan cita-cita Weni (nama samaran, biodata ga ada di penulis, he . . . he . . .) rela meninggalkan orangtua dan desa tercinta, mungkin juga meninggalkan Kang Rohim yang kelihatannya akhir-akhir ini sebelum hijrah ke kota lengket kaya perangko. Sarweni lengkapnya (masih samaran) ga muluk-muluk selepas SMU yang kebetulan sudah ada di desanya ia hanya ingin kuliah di jurusan administrasi, akuntansi atau entah apa namanya supaya lulus kuliah bias menjadi pegawai Teller di bank-bank, yang biasa dandan cantik-cantik dan memasang wajah ramah-ramah, ia sering memperhatikan pegawai –pegawai bank perempuan sewaktu ngambil uang yang dikirim mbak yu nya di luar negri.
“Enak yah jadi si mbak-mbak di bank, uangnya banyak, cantik lagi, terus suka di godain cowok-cowok ganteng pastinya” gumamnya dalam hati.
Makanya setelah kelulusan sekolahnya ia mengungkapkan ke inginan tersebut sama bapaknya yang seorang petani gurem, setelah melewati perenungan dan pemikiran panjang, akhirnya dengan berat hati Bapak mengijinkan anak semata wayangnya (dan sebenernya kebanyakan sih keberatan ongkos-. Walau pada dasarnya ia menyutujui karena anaknya ga mau makan dan ga mau keluar kamar dihari-hari memohonnya.
Berangkatlah Weni dengan perbekalan se cukupnya dan biaya pendaftaran ke preguruan tinggi yang ia pilih di kota terdekat, ia tidak mengalami kesulitan ketika ujian masuk sampai akhirnya ia bias belajar di kampus tersebut.
Singkat cerita, kota berbeda dengan di desa, harga makanan lebih mahal, jajajanan lebih aneh-aneh dari pada di desanya, sandwich lah, pizza, lah, rotbak (rotibakar) Piscok dan lain semacamnya, belum biaya kos-kosan yang makin bulan makin naik , ongkos pergi sana-sini tidak kalah ngejebol kantongnya. Akhirnya Weni menyadari butuh uang lebih buat menghidupi dirinya, sedangkan sangu (bekel) yang di dapat kalo mudik hanya secukupnya, kalo di hitung-hitung hanya cukup untuk biaya makan 2 hari.
Tapi ia tetap bersemangat kuliah demi menggapai cita-cita dan cintanya kepada bapak dan mak di desa, sehingga ia suka menahan lapar atau cari pinjaman dan pada akhirnya ia berharap untuk makan gratisan atau traktiran dari teman-temannya. Pernah juga terlintas dalam pikirannya untuk nyari kerja sambilan yang bias part time tapi apa yang bias ia lakukan saat ini sepertinya susah.
“Harus punya orang dalam” kata Siti temen se fakultasnya, ketika Weni menceritakan niat untuk melamar kerja di minimarket-minimarket atau ke bank-bank lokal.
Aneh, masuk kerja kok harus pake orang dalem dasar jaman wis edan, memang begitulah jaman sekarang, masuk kerja harus ada orang deket atau sengaja dideketin tentunya pake duit, alih-alih ga pake orang dalem ya kalo cewek pake isi daleman (ga usah dijelasin, pembacanya kan pinter-pinter) kalo bos perusahaan tersebut nakal-nakal.
Dan dengan tidak sengaja suatu hari ia lihat Sari temennya satu desa yang kuliah di jurusan berbeda. Pulang malem-malem dan dianter pake mobil, siapakah lelaki setengah baya yang nyetir mobil tersebut, perasaan bapaknya pedagang sayur keliling tiap pagi yang nyampe juga depan rumah dia, atau kakaknya?, ah sari kan anak tunggal, dan ga mungkin kalo ia punya kaka tiri hamper seumuran ma bapaknya, ia malah tambah penasaran apalagi ketika bapak-bapak itu (eh, lebih tapatnya om-om) memberikan ciuman di (ikh, ia agak jijik) bibirnya yang mungil dan merah delima.
Setelah kejadian tersebut, malam itu ia tidak bias memejamkan matanya, terus memikirkan Sari dengan orang yang tidak ia kenal, Sari yang memang kamar kos-kosan nya di sebelah kamarnya tentu ini mengusik perhatiannya, jangan-jangan ia emang jalan ma om-om genit, akh ngelantur, pikirnya dalam hati. Temennya itu ga pernah kekurangan uang, pakaiannya selalu ngikutin model jaman sekarang, bahkan minggu kemaren ia bawa motor matic keluaran terbaru, aneh perasaan ga akan deh Pak Jalil (bapaknya sari) membelikan ia motor,
Sangking penasaran Weni akhirnya beranikan diri untuk bertanya pada Sari, Sari agak terkejut tapi pada akhirnya dia menjelaskan duduk perkaranya kepada Weni, malahan keadaan menjadi tak terduga.
“Nih kamu kan lagi butuh duit, dan kamu kan cinta ma keluargamu, maka dari itu jangan mpe nyusahin keluargamu, ikutan dech cara aku nti aku bantu kenalin ma om-om yang lain” tawarnya pada Weni.
Weni miris ketakutan
“ga ah” ujarnya singkat.
“Eh wen apalagi kamu masih V (sensor) pasti 2 kali lipat dari yang aku dapat” kerling sari terus merajuk.
Dan Akhirnya, babak baru di mulai, Weni mengikuti anjuran Sari dengan atas Nama Cinta keluarga Ia rela Roknya di jebol Om-om hidung panjang, eh hidung belang.
Cuma ada kesalahan scenario kayaknya, 3 bulan kemudian bukannya ia bisa membuktikan cintanya kepada orang tua, malah ia membuat aib bagi keluarga dan kampusnya tercinta, selain berbadan dua Weni dikabarkan masuk situs porno dengan adegan syurnya yang merajah di internet, waladalah dasar tidak memahami REALITA CINTA ROK PUN RELA UNTUK DI JEBOL.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H