Sebuah perhelatan besar baru saja berlalu kemarin. Perhelatan yang sesungguhnya adalah sebuah acara sangat pribadi, yang akhirnya jatuh ke ranah publik karena yang punya gawe adalah seorang Presiden. Ya, Presiden kita baru saja mantu.Â
Tak kalah seru dari berbagai foto dan video pre-wedding, rangkaian upacara tradisional, ijab kabul dan keseruan-keseruan lain, adalah mengikuti celetukan-celetukan masyarakat mengomentari acara ini. Â Salah satunya yang menjadi viral adalah ide yang seru dan sangat milenial bahwa nikahan itu bisa sederhana, misalnya bikin acara di rumah sambil tweet dan vlogging live. Asyik bukan? Â Komentar asyik yang menimbulkan komentar susulan yang tak kalah asyiknya, seperti kata-kata seorang ibu PKK yang dikutip oleh seorang pengguna Facebook: "Biasanya yang nyiyir waktu kawinan itu kan cuma mantan."
Tapi lebih asyik ketika mendengar pak Jokowi dengan selownya berkomentar, "Sederhana itu relatif".
Mak dheg, kalau kata orang di kampung saya. Â Yup, kalau dipikir-pikir, ini jawaban yang cukup serem-serem sedap. Mungkin ada yang menerjemahkannya sebagai, "Kalau aku mampu menikahkan anakku seperti ini, ngapain situ sirik?" Tapi sesaat sesudah saya sendiri turut jengkel dengan ide jenius yang nggak penting itu (ngapain sih pada ngurusin hari bahagia orang lain, ikut seneng napa?), saya tiba-tiba tercenung. Â Weits.... jangan-jangan saya juga sering berkomentar, atau minimal berpikir, yang mirip-mirip bapak milenial yang punya usul nikahan vlogging ini. Seberapa seringkah saya menilai orang lain berdasarkan standar kehidupan atau 'kesederhanaan' yang saya jalani?
Nggak usah nunggu jadi Presiden untuk dinyiyirin orang atas pilihan-pilihan kita, tanpa yang nyinyir itu mengerti, apa sih latar belakang pilihan kita. Â Saya ingat hampir satu dekade yang lalu, ketika sempat main sebentar ke negaranya paman Trump, saya ikutan sebuah acara kumpul-kumpul di bulan Desember di kota Washington D.C. Seru dong, anak kampung mampir ibukota, ndesonya puolll. Â Tapi saking girangnya mau jalan-jalan, akhirnya ketinggalanlah salah satu property penting buat seseorang yang berambut kriting awul-awulan ini: sisir. Â Pusing kan? Â Masa udah bawa kebaya cakep-cakep, rambutnya awut-awutan?
Akhirnya sampai di Washington, bukannya belanja oleh-oleh, yang dijujug adalah toko Body Shop untuk membeli sisir kayu bergigi jarang.  Kenapa sisir kayu? Karena di musim dingin kalau rambut disisir pakai sisir plastik, tambah parah static-nya, jadi terbang alias njigrak kemana-mana.  (Hayo, yang waktu SD pernah eksperimen dengan penggaris plastik yang digosok-gosokkan ke baju, terus dipegang di atas serpihan kertas yang menari-nari, siapa? Ngacung! Prinsipnya ya sama). Kenapa ke Body Shop? Lha wong taunya di situ pasti ada, dan langsung nemu, ngapain ribet mencari-cari lagi?  Waktu yang sangat terbatas ya mendingan digunakan untuk ndeso di lokasi lain.Â
Pada titik itu tiba-tiba nyeletuklah salah satu peserta rombongan asal Indonesia, "Aih, kalau sisirnya aja beli di Body Shop, parfumnya di mana, Say, Channel?" Mak dheg saya, juengkel tapi males menanggapi. Â Apalagi ketika beberapa menit kemudian yang bersangkutan mengeluarkan uang dari sebuah dompet bermerek terkenal, yang dengan bangganya dia ceritakan," Tau nggak...ini aku dapet cuma 200 $ lho, waktu Black Friday, wuih... ngantri, Jeng, harga aslinya sih bisa sampai 600-an". Alamak...situ beli dompet 200 US$ bangga, saya beli sisir nggak ada 10 US$ dinyiyirin...opo tumon.
Tapi inilah sebuah contoh kecil betapa kadang sudut pandang kita terhadap orang lain seringkali tidak sesuai dengan perilaku kita sendiri. Â Kita seringkali terlalu kritis mengamati - dan mengomentari - perilaku orang lain, tanpa kita menyadari bahwa kita pun sering melakukan hal-hal yang sama. Â Kita juga seringkali sigap memberikan berbagai alasan dan dalih yang menjelaskan pilihan-pilihan kita, sementara pada saat bersamaan tidak peduli dan bahkan tidak tertarik pada latar belakang pilihan orang lain. Kalau meminjam istilah penulis kita, Triyanto Triwikromo, kita perlu bertanya, apakah kita sudah berubah menjadi "kaum pencibir"?
Sebagai perempuan Indonesia yang menikah dengan orang asing dan tinggal di luar negeri, saya banyak melihat, mendengar dan membaca soal perempuan-perempuan Indonesia (yang katanya) borjuis yang kemana-mana menenteng tas bermerek, arisan sana-arisan sini, bergaya hidup extravagant, dll. Â Kalau boleh jujur, saya juga kadang suka bertanya-tanya, mengapa merek dan gaya hidup begitu penting bagi beberapa kalangan. Â Kalau boleh jujur, saya juga pun dalam hati pasti pernah nyinyir pada orang-orang ini.
Namun sesaat kemudian selalu muncul suara lain dalam hati saya, "ha mbok ben", kata emak saya dulu. Â Biarlah. Toh mereka mampu. Setiap orang punya prioritas masing-masing, yang merasa tercukupi kebutuhannya dengan tas kulit palsu made in China, yang penting kantongnya gedhe-gedhe dan buanyak, ya cukuplah. Yang merasa baru tercukupi kalau barang-barangnya minimal diwadahi tas LV, lha ya mbok ben.Â
Siapa tahu dia sebenarnya kuat beli Channel, Birkin, Gucci satu truk tapi ngambilnya cuma tas LV ukuran yang paling kecil, iya to? Memangnya kita nanya dulu, "Mbak, boleh dong lihat isi buku tabunganmu?" sebelum mejatuhkan penilaian? Â Apakah kita tahu, berapa lama si empunya tas menabung untuk membeli tas impiannya? Apakah kita tahu (dan pernahkah menanyakan) motivasi dan prioritas hidup mereka? Tentunya saya berbicara tentang orang-orang yang membeli barang-barang bermerek demi kepuasannya sendiri ya, bukan yang terus mentang-mentang tentengannya bermerek lalu tidak mau bergaul dengan yang "biasa-biasa" saja.