Puisi : Edy Priyatna
Benci terik deru debu santapan kami. Meski setiap hari mencari rejeki demi sesuap nasi. Sekali waktu kala berteriak dalam sunyi. Kerap menanti ketua peduli sekalian ini. Gemuruh tali tiang mengangguk tunduk berkarat.
Bantulah kendaraan tak akan lewat lagi di jembatan telah usang ini. Dahulu bus selalu lewat dengan suara desah mengisi senja hari. Terisap muatan dan orang penuh tanda tanya. Dimana kepala terminal disini bus tak mau lagi berhenti. Titian kembali membentang terminal ditelan ribuan kekosongan.
Bermutu satu atap adalah rasa sukacita. Kalau tidak saling memukul manakala senja malas melintas. Hamba harus tak enak hati kentung desa berbunyi. Keadaan isyaratkan tanda bagi semua. Wahai sahabat dekat kami butuh sesuatu.
Butuh pandangan tanganmu keatas. Hendaknya dapat ditutup sebuah penyerahan. Saat ini kami merasa telah berbeda. Menyerupai dewa membunyikan lonceng di angkasa. Alam mengharap gaungan itu nyaring mempesona.
(Pondok Petir, 28 Nopember 2019)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H