Puisi : Edy Priyatna
Tidak boleh bermain bebas perkebunan. Sesapan ladang rata terbenam gubuk petani. Penanam ikut tenggelam keluarganya. Ahli berlinangan air alat penglihatan. Pendapat pernah ambil banyak buku. Hamba baca hampir tak ada nyaris terlewati. Teratasi namun masih belum pernah selesai. Sedia karena setiap detik selalu terlahir. Jasmani kembali dari beberapa rahim. Para penyair dari perut para cendekiawan. Waktu semalam tak ada rembulan. Membuatku menjadi resah gelisah.
Sementara hamba mulai larut pasrah. Taat kugadaikan jiwaku desirnya terbang. Melangit bumantara tak biru lagi burung. Unggas mulai enggan terbang angin tak beraksi. Tingkah laku selalu memiliki rawi mentari. Surya mencari sajak indah untuk kusunting. Edit sebagai hiasan kata pada tiap lekuk. Kelok cantiknya hingga melahirkan berahi. Sepanjang hari setiap malam kucumbu. Rayuan dengan senandung alunan gita. Senandung lembut nan merdu ketika pagi. Menjelang mode kupeluk dengan puisi.
Tulisan setiap saat kubuka lembar demi lembar. Benang tali halaman pertama sampai habis. Lewat ada perubahan lebih kadang. Sesekali mendadak langit menjadi gelap pekat. Kental hingga halaman terakhir kulihat. Jingau dengan mata hati kerap kunikmati. Bahagia menghamburkan demi mentari. Sejak tenggelam aku tiba bersama senja. Malam rangkaian katanya kukunyah tanpa gigi. Baham kutelan secara perlahan semua. Segala makna arti lalu kuminum air. Larutan manfaat mengikuti perjalanan mentari.
(Pondok Petir, 02 Oktober 2019)