Puisi : Edy Priyatna
Menghalalkan kenyataan walau menderita. Besoknya akan berat menahan susahhati. Jangan selalu larut bermuram durja. Karena aku menggemari mencintaimu. Engkau tidak dapat mencintaiku. Terlalu dalam masuk di semangat nafsu. Bakal akan merasa kehilanganku. Sudah pernah mendua nantinya tak sanggup.Â
Semasa matahari mulai muncul. Melewati subuh dihiasi daun cemerlang. Kabut diiringi gema berjuta takbir. Bahana suara para juara jago kampiun. Sujud memohon ampun serentak. Taman suci tanah lapang hoki milik. Belandung sang pengasih dan penyayang. Masuk tenggelam di bumi kebencian.
Memangku pegang kepastian sabit. Telah ditetapkan hari ini menggelisahkan. Jiwa mendebarkan hati menyedihkan. Diri membingungkan rasa prihatin. Anugerah dalam ragaku telah terasah. Ketajaman belati dendam kebencian. Menyayat kulit akibat api kerinduan. Gugur merontokkan gigi dimulutku.
Seandainya tutup mata impianku. Agar ia tidak bisa dibuka lagi. Tiada ada langkah belum mencukupi. Banyak dosa dan luar biasa tobat. Seribu hati masih bergores. Hutang belum lunas terbayar impas. Dibeli tapi aku belum suka kenyataan. Saat ini aku letih dalam halaman kaca.Â
(Pondok Petir, 08 Agustus 2019)