Puisi : Edy PriyatnaÂ
Tempo ini telah tiada tanah adat sungai. Dahulu benyanyi deras tinggal. Kubangan retak sunyi gersang. Tak ada lagi orang bermain didalam. Mereka pergi mencari tempat bermain. Beda lain di lorong prosedur. Di kolong jembatan di pasar terminal. Buat desa ini menjelma kota sunyi.
Tampak dalam benak semua kejadian. Lampau ketika ada bambu runcing. Dan senjata tajam di susur tangan. Kecil mengayun rentak mereka. Ibu bila kesedihan telah merasukmu. Alkisah maka lontarkanlah berangsangmu. Selaksa kau menyalin diriku. Agar sukmaku terjaga sadar dari penyakit.
Terhidang trik menuju kediamanmu. Lalu kala selorong dekat kelompok. Segala perih sembiluan mulas. Gering karena doa berakhir pada takdir. Perkampungan dan telaga timur. Tapi kini sunyi gersang hanya ada satu. Gemuruh tambang siang malam. Bagai menjaga rembulan mengusir surya.
Tiba-tiba saat terjaga membuyarkan. Rasa terai merubah keadaan. Mentari dari jalan menuju kediamanmu. Tak keruan memporakporandakan mereka. Menambah kesedihan terlihat langsung. Pada kasat mata semua teman. Kawanku temanku sahabatku saudaraku. Gerus menghancurkan tumpah darah.
(Pondok Petir, 04 Agustus 2019)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H