Puisi : Edy Priyatna
Hamba terhempas pada batu cadas. Nan terpecahkan oleh waktu. Padahal baru kemarin pencari kembali pulang. Setelah desa dilanda gempa. Deru kumandang suara pujian pun. Bersisa masih sayup terdengar. Menjadi hiasan batang ranting pohon. Berasap aroma wewangian kayu. Rumah pengurus pengelola tertinggi.
Sementara senja menjadi atap. Warga negara kita selalu bermasalah. Membuat lelah semua jiwa. Antara habisnya harapan hidup. Waktu berkata di nilai sederhana. Saat orasi di anggap dusta. Tak selalu pernah di gubris. Hingga semua kata tak bermakna. Pengusaha telah kehilangan hati.
Terserempak hadir dengan ikhlas. Sonder senjata jangan atribut tanpa suara. Melakukan berbuat unjuk rasa. Bertemankan api meninggalkan suara raga. Serbuk butiran arang melekat pada sandang lusuh. Mentari menyoroti sinarnya nan jauh. Hingga menyerap rasa panas. Menghitung noktah titik demi titik.
Berasaskan sawah ladang kering. Dari kejauhan kembali terlihat. Menari rentak dengan paculnya. Para petani mulai membersihkan lahan. Mungkin sejarah pertama bangsa ini. Akan bermakna bagi rakyatnya. Sementara penguasa amat menyayangkan. Kendati simpati maupun sangat prihatin. Akan tetapi telah menyadarkan semua mata. Membangunkan jiwa untuk melangkah di pagi hari.
(Pondok Petir, 06 Juli 2019)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H