Puisi : Edy Priyatna
Gunung nan selalu ramah pun menjadi murka. Sejuk membara dalam gelap tangannya berdarah. Dalam menuntut rasa kemanusiaan. Penuh perjuangan hidup hingga mati. Setiap bala bantuan datang bagi rakyat. Sebilang itu pula kebahagiaan pemimpin tiba. Masuk ke dalam kalbu nan resah. Sendi tangannya amat tajam. Di asah goresan hitammu. Menusuk membakar dengan gemas. Membuat kobaran api sepi menjadi kelam.
Berdenyut giat penuh kehendak. Suka duka namun lidah ini terasa kelu. Kehidupan adalah bangkit. Dari putaran dan keterpurukan. Betapa beruntungnya kita ini. Telah hidup di negeri berdaulat. Walau keadilan masih belum begitu di junjung tinggi. Menyimakan cakap nan ku anggap suka hati. Sejak hidup dulu jauh sesudah perang usai. Dengan mendengar pendapat lantang. Berteriak dengan percakapan pendatang.
Menghangatkan kita belajar hidup. Kendati belum maksimal kesinambungan berjalan perlahan. Bertahan dalam damai tanpa perang. Negeri sejuk karena kerukunan. Menciptakan kebersamaan nan indah. Menuju masa depan dengan keihklasan. Dalam perlindungannya pada setiap waktu. Ketika menjadi bunga dalam mimpi, Duri nya menjalar pada ranting. Tak ada susur tangan nan datang. Hingga tak terpetik lagi.
                                                 Â
(Pondok Petir, 21 Juni 2019)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H