Puisi : Edy Priyatna
Di gerbang halaman masjid seorang sesepuh bergurau. Membiarkan angin membasuh dirinya. Dengan selingkar sinar cahaya. Setelah ia menyapanya dengan zikir. Mendorong langkah menuju kearah kiblat.
Meninggalkan selonggok batu hitam. Nan berbentuk ringan kecil mengkilat jernih. Dan ujungnya tajam seperti pedang. Prinsip ternoda nan engkau lakukan. Membuat semua hormat padamu.
Anda di sayangkan karena dia tak tahu makna. Engkau sudah bicara walaupun tanpa suara. Hambapun menimbun malam setiap hari. Sebongkah ku simpan dalam diri. Lentera kerap menerangi hatiku yang kelam.
Kini kau tidur terbaring lemah. Dengan mata tertutup. Di depan orang banyak. Dengan matanya bebas terungkai. Sunyi telah menggugah kejadian masalah.
Beserta keinginan tanah nan telah sirna. Penderitaan penganiayaan pembohongan publik. Penyalahgunaan pendustaan pengkorupsian. Sehingga bermanfaat bagi kemajuan genus ini. Kami berharap engkau segara terjaga. Karena kami ingin menanyakan siapa namamu.
Sangkat dapat ku intai ujung rembulan. Dan juga ku tatap bulan bintang. Menyingkap tirai hijab nan gaib. Melepaskan suasana hati berjiwa. Membangunkan jiwa untuk melangkah di pagi hari
(Pondok Petir, 04 Desember 2018)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI